Istri – Darmanto Jatman
isteri mesti digemateni
Ia sumber berkah dan rezeki
Isteri sangat penting untuk kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang di sawah
dan mengeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita
Ia sisihan kita
kalau kita pergi ke kandang
Ia tetimbangan kita
kalau kita menjual palawija
Ia teman belakang kita
kalau kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita
kalau kita
Ia sakti kita!
Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah mengeluh walau capek.
Ia selalu rapi menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa syukur,
tahu terima kasih dan meninggikan harkat kita sebagai laki-laki.
Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-sungguh
seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya:
Seperti lidah ia di mulut kita
tak terasa
Seperti jantung ia di dada kita
tak teraba
Ya.ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika mulai melupakannya
Jadi, waspadalah!
Tetap, madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri, perkasa, dan pintar ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel, atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia dia antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
Jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang bayi Tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka
Ah. Ah. Ah.
Alangkah pentingnya isteri ketika kita melupakannya
Hormatilah isterimu
Seperti kau menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu
Makanlah
Karena demikianlah suratannya
Penyair Darmanto Jt. hidup dalam lingkungan sosial-budaya
Jawa, maka ia tidak terhindar dari latar kebudayaan Jawa yang berupa
cerita-cerita Jawa dan wayang Jawa. Begitu juga ia tidak terhindar dari
pandangan hidup masyarakat atau ia akrab dengan pandangan hidup orang Jawa.
Semuanya itu tergambar dalam sajak-sajaknya, di antaranya sajak
"Isteri" ini. Dalam sajak "Isteri" ini tergambar
lingkungan sosial-budaya kehidupan Jawa. Hidup-mati petani itu ditentukan oleh
sawah, kerbau, dan alat-alat pertanian, juga ditentukan berhasil atau tidaknya
menanam padi. Menurut pandangan petani Jawa, tanaman padi akan subur dan
berbuah lebat, serta panenan akan berhasil jika mendapat berkah dan restu
Dewi Sri, dewi padi.
Oleh karena itu, para petani Jawa sangat menghormati dan
menjunjung tinggi Dewi Sri. Mereka membuat selamatan dan sesaji untuk
mendapatkan berkahnya, yaitu pada waktu mulai menanam padi dan waktu panen.
Bagi petani, kerbau dan alat-alat pertanian itu sangat penting bagi
kelangsungan hidupnya, bahkan merupakan hidup matinya. Oleh karena itu, isteri
yang sangat penting itu "hanya" disamakan dan disejajarkan dengan
kerbau. Bagi petani, dipandang dari sudut pandang sosial-budaya pertanian,
penyejajaran isteri dengan kerbau itu tidak bermaksud merendahkan kedudukan
istri sebab kerbau itu sangat penting, merupakan hidup-matinya pula.
Pada umumnya, dalam pandangan sosial-budaya masyarakat
Jawa, lebih-lebih di dalam masyarakat petani di desa, kedudukan dan guna isteri
itu seperti tergambar dalam bait pertama: menyapu pekarangan, memasak di dapur,
mengirim rantang ke sawah, yaitu mengirim makanan dengan rantang pada waktu pak
tani bekerja di sawah, dan ngeroki (menggosok-gosokkan uang logam berkali-kali
diminyaki kelapa atau balsem sampai kulit punggung dan dada menjadi merah
bergaris-garis secara teratur) kalau suami masuk angin.
Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang turun-temurun.
Jadi, yang kelihatannya lucu atau aneh bagi masyarakat atau bangsa lain itu
sesungguhnya tidak aneh dan wajar saja. Dengan memahami latar sosial-budaya
demikian, orang dapat memahami kesungguhan sajak itu bahwa istri petani itu
sangat penting dan cukup terhormat kedudukannya. Bukan hanya sebagai benda
kekayaan, pelayan, ataupun budak suami. Dengan pengertian demikian, pembaca
dapat memberikan penilaian yang tepat terhadap sajak "Isteri" itu.
Dalam latar budaya petani Jawa, Dewi Sri itu sangat
terhormat seperti telah diuraikan di awal. Jadi, istri petani itu sesungguhnya
sangat terhormat karena disamakan penghormatannya terhadap Dewi Sri (bait
terakhir): "Hormatilah isterimu seperti kau menghormati Dewi Sri sumber
hidupmu". Di samping itu, isteri juga disamakan dengan Subadra istri
Arjuna. Dalam cerita wayang, Arjuna itu banyak istrinya, yang utama adalah
Subadra. Subadra itu istri yang lembut hatinya, cantik, dan baik hati. Kepada
maru-marunya ia bertindak adil, tidak membenci, penuh kasih sayang hingga
marumarunya pun baik kepadanya.
Begitu juga jika dibandingkan dengan Arimbi istri Bima,
yang melahirkan Bambang Tetuka (Gatotkaca), ia memelihara anaknya dengan penuh
kasih sayang. Bahkan, isteri petani juga dibandingkan dengan Sawitri, seorang
isteri yang karena cintanya kepada suami, ia memaksa Dewa Yama, dewa maut yang
mencabut nyawa Setyawan suaminya. Setyawan sudah sampai takdirnya untuk mati,
namun Sawitri tetap meminta kepada Dewa Yama untuk mengembalikan nyawanya.
Akhirnya, Yama mengabulkannya, mengembalikan nyawa ke tubuh Setyawan dengan
janji bahwa hidup Setyawan itu harus ditebus dengan setengah masa hidup Sawitri
sendiri.
Dengan demikian, Setyawan hidup kembali dan mereka hidup
berbahagia kembali. Dari paparan tersebut, terlihat jelas bahwa latar
sosial-budaya masyarakat memang berpengaruh terhadap kesusastraan. Jadi, dapat
dikatakan bahwa dalam sebuah karya sastra terdapat cerminan masyarakat yang
mewakili zaman tertentu. Proses kreatif tersebut dimunculkan oleh pengarang
sebagai bentuk reaksinya dalam menanggapi berbagai gejala sosial yang ada pada
masanya. Selain itu, melalui karya sastra, pengarang pun mengutarakan kritiknya
terhadap zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar