Rabu, 01 Januari 2014

Karya Sastra Minangkabau : Bacindai Aluih



Judul               : Bacindai Aluih  
Pengarang       : Datuak Paduko Sati

A. Asal-usul
Cerita ini dikarang oleh Datuak Paduko Sati. Diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1929. Lalu diterbitkan kembali pada tahun 1979 oleh pemerintah demi melestarikan sastra daerah Minangkabau. Pada tahun1929-an Belanda gencar  mendokumentasikan sastra Minangkabau ke dalam buku untuk mempelajari budaya dan pemikiran orang-orang Minang.
B. Fungsi Karya sastra
            Karya sastra seperti Bacindai Alaih bercerita tentang kehidupan masyarakat Minangkabau. Dalam cerita-cerita prosa sastra Minang selalu diceritakan bahwa masyarakat yang diceritakan senantiasa mematuhi adat walau mereka berada dalam kondisi kuarang menguntungkan. Karya Sastra Minangkabau merepresentasikan kehidupan orang-orang Minang itu sendiri.
C. Ringkasan cerita
            Pada suatu masa, di Tanjung Pati tinggal seorang gadis bernama  Bacindai Aluih . ayahnya bernama Intan Diawan nan Bagonjong dan ibunya bernama Kayo Bandangan. Kedua orang tuanya itu memanggilnya untuk berbicara tentang bagaimana cara hidup sederhana di masyarakat, serta bagaimana hidup bersuami-istri. Hal itu mereka lakukan karena mereka menganggap Bacindai Aluih  telah dewasa dan hendak mencarikan jodoh untuknya. Bacindai Aluih  berjanji menuruti kata-kata orang tuanya dan apabila ia melanggar maka ia minta ditegur. Lalu ia ditunangkan dengan Pakiah Muhamad.
            Suatu pagi, Bacindai Aluih  pergi ke sawah untuk mengusir burung. Pada saat yang sama, di tempat yang berbeda Rajo Ameh meminta izin ayahnya untuk pergi memikat balam. Ia mencari tahu siapa yang mampunyai balam tembaga. Lalu ia menyuruh adiknya, untuk meminjam balam tembaga pada Pakiah Muhamad.
Kayo Oto adik Rajo Ameh datang ke Rumah Pakiah, di sana mereka akhirnya pergi bersama untuk menjerat balam dengan balam tembaga milik Pakiah sebagai umpan. Saat mencari burung, keduanya agak berjauhan. Balam tembaga milik Pakiah tak mau berkicau. Karena kesal, Rajo Ameh melempar burung itu ke tanah, hingga lepas dan terbanglah burung itu. Ketika Pakiah tahu, ia disuruh untuk segera mencari burung itu kembali.
Rajo Ameh lalu bertemu  Bacindai Aluih yang tengah menghalau burung-burung yang memakan padi.  Rajo bertanya pada Bacindai apakah gadis itu melihat balam tembaga yang terbang di sekitar situ, namun bacindai menjawab ketus. Tapi segera kemudian ia menyesal dan memanggil Rajo untuk kembali karena balam yang Rajo cari ada padanya. Bacindai mengundang Rajo untuk makan dan minum. Dari situ timbullah benih cinta di antara keduanya. Mereka saling berjanji untuk bertemu lagi di gelanggang Datuk andaro pekan Ahad Sumulanggang. Esoknya Rajo menunggu Bacindai di perempatan jalan hingga kira tengah hari.
Baciandai dan Rajo bertemu di tempat yang dijanjikan. Lalu berpisah, Baciandai menuju pasar, sedangkan Rajo menuju tempat sabung jago. Saat rajo berada di gelanggang sabung ayam jago, seorang pembantu ayahnya menjemputnya pulang dan mengabarinya bahwa ia ditantang Pakiah Muhamad berduel oleh sebab ia telah bermain cinta dengan kekasihnya. Gayungpun bersambut. Pada awalnya Rajo berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Namun, ketika berjalan di wilayah musuh, ia dikerokyok hingga tewas dengan tubuh bercerai-berai.
Bacindai terpukul mendengar hal ini. Ia izin pada ibunya untuk mengantarkan makanan pada ayahnya yang belum pulang sedari pagi. Ketika bertemu ayahnya, Nacindai mendapati kepala Rajo dibawa oleh ayahnya. Lalu ia mengumpulkan bagian-bagian tubuh rajo yang telah terpotong-potong.. ia menemukan tubuh Rajo di sungai berpusaran. Setelah semua bagian tubuh ditemukan, Baciandai bertemu orang tua berpakaian serba putih, orang itulah yang menghidupkan kembali Rajo Ameh yag telah mati serta menolong mereka menyelamatkan diri selama dalam pelarian. Dalam pelarian itu mereka menikah dengan uapacara adat.
Setelah selang beberapa waktu, mereka memeberanikan diri untuk kembali ke kampung asal mereka. Orang tua yang menyelamatkan mereka memperingatkan untuk berhati-hati. Akhirnya, dua sejoli itu kembali ke kampung asal mereka. Merekapun dituntut oleh keluarga Pakiah muhamad, mantan tunangan Bacindai. Keduanya lalu disidang dengan hukum adat. Bacindai dan Rajo menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya terjadi dalam sidang tersebut. Dan dengan lindungan dari Tuhan, mereka berada di pihak yang menang. Bacindai dan rajo Ameh hidup bahagia dan dikaruniai anak. 

D. Daftar Pustaka
Datuak, Paduko Sati.1979. Bacindai Alaih. Jakarta: Balai Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar