Judul : Bacindai Aluih
Pengarang : Datuak Paduko Sati
A. Asal-usul
Cerita
ini dikarang oleh Datuak Paduko Sati. Diterbitkan pertama kali oleh Balai
Pustaka pada tahun 1929. Lalu diterbitkan kembali pada tahun 1979 oleh
pemerintah demi melestarikan sastra daerah Minangkabau. Pada tahun1929-an
Belanda gencar mendokumentasikan sastra
Minangkabau ke dalam buku untuk mempelajari budaya dan pemikiran orang-orang
Minang.
B. Fungsi Karya sastra
Karya sastra seperti Bacindai Alaih
bercerita tentang kehidupan masyarakat Minangkabau. Dalam cerita-cerita prosa
sastra Minang selalu diceritakan bahwa masyarakat yang diceritakan senantiasa
mematuhi adat walau mereka berada dalam kondisi kuarang menguntungkan. Karya
Sastra Minangkabau merepresentasikan kehidupan orang-orang Minang itu sendiri.
C. Ringkasan cerita
Pada suatu masa, di Tanjung Pati
tinggal seorang gadis bernama Bacindai
Aluih . ayahnya bernama Intan Diawan nan Bagonjong dan ibunya bernama Kayo
Bandangan. Kedua orang tuanya itu memanggilnya untuk berbicara tentang
bagaimana cara hidup sederhana di masyarakat, serta bagaimana hidup
bersuami-istri. Hal itu mereka lakukan karena mereka menganggap Bacindai
Aluih telah dewasa dan hendak mencarikan
jodoh untuknya. Bacindai Aluih berjanji menuruti
kata-kata orang tuanya dan apabila ia melanggar maka ia minta ditegur. Lalu ia
ditunangkan dengan Pakiah Muhamad.
Suatu pagi, Bacindai Aluih pergi ke sawah untuk mengusir burung. Pada
saat yang sama, di tempat yang berbeda Rajo Ameh meminta izin ayahnya untuk
pergi memikat balam. Ia mencari tahu siapa yang mampunyai balam tembaga. Lalu
ia menyuruh adiknya, untuk meminjam balam tembaga pada Pakiah Muhamad.
Kayo
Oto adik Rajo Ameh datang ke Rumah Pakiah, di sana mereka akhirnya pergi
bersama untuk menjerat balam dengan balam tembaga milik Pakiah sebagai umpan.
Saat mencari burung, keduanya agak berjauhan. Balam tembaga milik Pakiah tak
mau berkicau. Karena kesal, Rajo Ameh melempar burung itu ke tanah, hingga
lepas dan terbanglah burung itu. Ketika Pakiah tahu, ia disuruh untuk segera
mencari burung itu kembali.
Rajo
Ameh lalu bertemu Bacindai Aluih yang
tengah menghalau burung-burung yang memakan padi. Rajo bertanya pada Bacindai apakah gadis itu
melihat balam tembaga yang terbang di sekitar situ, namun bacindai menjawab
ketus. Tapi segera kemudian ia menyesal dan memanggil Rajo untuk kembali karena
balam yang Rajo cari ada padanya. Bacindai mengundang Rajo untuk makan dan
minum. Dari situ timbullah benih cinta di antara keduanya. Mereka saling berjanji
untuk bertemu lagi di gelanggang Datuk andaro pekan Ahad Sumulanggang. Esoknya
Rajo menunggu Bacindai di perempatan jalan hingga kira tengah hari.
Baciandai
dan Rajo bertemu di tempat yang dijanjikan. Lalu berpisah, Baciandai menuju
pasar, sedangkan Rajo menuju tempat sabung jago. Saat rajo berada di gelanggang
sabung ayam jago, seorang pembantu ayahnya menjemputnya pulang dan mengabarinya
bahwa ia ditantang Pakiah Muhamad berduel oleh sebab ia telah bermain cinta
dengan kekasihnya. Gayungpun bersambut. Pada awalnya Rajo berhasil mengalahkan
lawan-lawannya. Namun, ketika berjalan di wilayah musuh, ia dikerokyok hingga
tewas dengan tubuh bercerai-berai.
Bacindai
terpukul mendengar hal ini. Ia izin pada ibunya untuk mengantarkan makanan pada
ayahnya yang belum pulang sedari pagi. Ketika bertemu ayahnya, Nacindai
mendapati kepala Rajo dibawa oleh ayahnya. Lalu ia mengumpulkan bagian-bagian
tubuh rajo yang telah terpotong-potong.. ia menemukan tubuh Rajo di sungai berpusaran.
Setelah semua bagian tubuh ditemukan, Baciandai bertemu orang tua berpakaian
serba putih, orang itulah yang menghidupkan kembali Rajo Ameh yag telah mati
serta menolong mereka menyelamatkan diri selama dalam pelarian. Dalam pelarian
itu mereka menikah dengan uapacara adat.
Setelah
selang beberapa waktu, mereka memeberanikan diri untuk kembali ke kampung asal
mereka. Orang tua yang menyelamatkan mereka memperingatkan untuk berhati-hati.
Akhirnya, dua sejoli itu kembali ke kampung asal mereka. Merekapun dituntut
oleh keluarga Pakiah muhamad, mantan tunangan Bacindai. Keduanya lalu disidang
dengan hukum adat. Bacindai dan Rajo menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya
terjadi dalam sidang tersebut. Dan dengan lindungan dari Tuhan, mereka berada
di pihak yang menang. Bacindai dan rajo Ameh hidup bahagia dan dikaruniai anak.
D. Daftar Pustaka
Datuak,
Paduko Sati.1979. Bacindai Alaih.
Jakarta: Balai Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar