A.
Pengantar
Sastra adalah
produk dan fenomena sosial budaya yang bermediumkan bahasa. Bahasa yang
dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra, pada hakikatnya, dalam
rangka fungsi sastra berperan sebagai sarana komunikasi. Dengan memperlihatkan teori
informasi yang dikemukakan oleh Eco (1976), yang cenderung memperlihatkan
gejala reduksi dan penyusutan yang terkandung dalam informasi, maka gejala
pemanupulasian bahasa pada hakikatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai
sarana komunikasi yang maksimal. Dalam kondisi informasi demikian, sastra
merupakan alat komunikasi yang padat informasi. Ia menjadi alat transmisi yang
paling ekonomis dan paling kompak, alat yang mempunyai kemampuan menyampaikan
informasi yang tidak dimiliki oleh alat lain (Lotman, 1972). Dalam komunikasi
sastra, sifat sastra yang penting adalah mampu menyampaikan informasi yang
bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula. Faktor pembaca sebagai
pihak yang dituju oleh informasi yang disampaikan oleh sastra dan proses pembacaannya
menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam berbicara tentang sastra. Dengan
demikian, sastra terwujud sebagai sarana komunikasi, yaitu komunikasi dengan
penikmatnya, atau pembacanya.
Dalam hubungan
dengan “masyarakat sastra Indonesia”, istilah “sastra” dipahami sebagai satu
sistem yang terbaca pada ciptaan-ciptaan yang oleh masyarakat Indonesia
dikategorikan sebagai produk sastra. Pernyataan ini tentu saja dilatari oleh
satu konsep tentang sastra yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat sastranya. Dengan pandangan ini, yang menjadi sasaran pembicaraan di
sini adalah karya-karya sastra Indonesia, yaitu karya-karya sastra berbahasa
Indonesia yang tercipta dari berbagai macam latar penciptaan, baik dari segi
tempat, waktu maupun sosio-budaya. Dari latar penciptaan karya-karya sastra
Indonesia dapat dilihat dari bentuk mula dan transformasinya[1]
di dalam kesusastraan Indonesia (lihat Chamamah, 2003: 9 – 12).
Dalam
menciptakan karya, adaptasi sering dilakukan oleh para seniman, seperti dari puisi ke dalam musik, cerpen ke dalam
komik, dari novel ke dalam film, ataupun sebaliknya. Proses ini dilakukan karena
novel tersebut sudah terkenal sehingga masyarakat tidak merasa asing lagi
terhadap kehadiran ceritanya yang nantinya diharapkan akan dapat mendukung
aspek komersial. Selain itu, ada juga yang menitikberatkan pada ide cerita yang
dianggap bagus. Sementara untuk penulis skenario, proses adaptasi cukup
membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film. Dalam
hal ini sastra dijadikan sebagai sumber dan bertitik tolak dari karya tersebut
(Hadiansyah, 2006: 1).
Menebus Impian merupakan film drama dari Indonesia yang dirilis pada 15
April 2010. Inilah film bertemakan bisnis
MLM (Multi Level Marketing) yang dilayar-lebarkan khusus untuk pencinta
film Indonesia, dan baru kali ini MLM menjadi tema
utama sebuah film dengan sutradara yang jam terbangnya sudah diakui banyak
pihak, Hanung Bramantyo. Bagi Hanung komunitas MLM memiliki potensi
sangat besar menjadi pasar film Indonesia.
Film Menembus Impian
“Tigapuluh persen masyarakat di
Indonesia terlibat MLM. Artinya, mereka memiliki keterlibatan secara
emosional bagaimana dirinya melakukan bisnis dengan cara ‘membelah’ diri dengan
multilevel,” cetus Hanung.
Hanung
Bramantyo sang sutradara yang membesut film ini bercerita,
cukup banyak kendala yang dihadapi saat menggarap film ini. Hal ini terkait
pandangan miring masyarakat terhadap bisnis yang mengandalkan kepiawaian
berbicara ini. Kendala
pertama yang ditemui Hanung adalah kesukaran mencari penulis yang mampu
dan mau menggarap skenarionya. Sekian penulis skenario yang ditawari menggarap
naskah film ini menolak lantaran tak sanggup, sebelum akhirnya Titin
Watimena berhasil menulis naskah skenarionya.
Proses
pengambilan gambarnya sendiri cukup cepat, kurang dari tiga minggu pada
November tahun lalu. Yang cukup memakan banyak waktu adalah desain konsep,
menulis skenario, dan beberapa hal di pra-produksi. Dalam tahap desain konsep
dan skenario, Titin Watimena butuh waktu sampai 6 bulan. Dengan dibantu Hanung,
draf skenario berubah sampai 9 kali, untuk mencapai sempurna.
Hanung pun melakukan sendiri riset untuk keperluan film
ini. "Saya banyak melakukan konsultasi dengan orang-orang MLM (Multi Level Marketing). Ini tidak sulit karena kebetulan
saya punya teman baik sejak kecil yang terjun dan sukses di bisnis MLM,"
kata Hanung. Tak hanya Hanung yang melakukan riset tapi termasuk penata lampu,
juru kamera sampai penata kostum.
Untuk lokasi pengambilan gambar, dipilih daerah
permukiman padat Perkampungan Raden Saleh, Cikini serta
daerah Taman Buah Mekar Sari, Cileungsi, Bogor. Dan
karena banyak adegan diambil di gang-gang sempit, Hanung menggunakan dua kamera
yang ukurannya lebih kecil sehingga sangat fleksibel, memungkinkan untuk
bergerak lebih dinamis.
Tantangan lain yang harus dihadapi Hanung dalam pembuatan
film ini adalah saat itu sedang musim hujan, yang disiasati Hanung dengan
memanfaatkannya untuk mendukung unsur drama dalam film yang diproduksi dengan
kerja sama dengan sebuah organisasi MLM ini. Sebagai contoh pada adegan di
rumah sakit, efek murung semakin kuat didukung langit yang mendung.
"Kekuatan film ini memang di drama-nya," ujar Wiwid Setya, anggota
tim produser yang sebelumnya menangani film Opera Jawa (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008), Tarix Jabrix (2008).
Di segi kostum, Retno Ratih Damayanti, penata kostum film
ini, memilih mencari kostum di Pasar Senen untuk film bersetting permukiman
miskin dan padat ini. "Saya membeli baju-baju bekas di Senen untuk
keperluan kostum pemain.", kata Retno yang juga pernah menangani kostum
untuk film Opera Jawa, Ayat-Ayat Cinta, Tarix Jabrix. Dari hal inilah paling tidak telah menunjukkan bahwa Film ”Menebus Impian menarik untuk dikaji karena telah mendapat sambutan dari berbagai
kalangan di Indonesia.
Tulisan ini dibatasi
pada pembicaraan tentang adaptasi cerpen ke dalam bentuk film saja dengan
pembahasan yang lebih sempit. Hal ini mengingat aspek yang ada dalam cerpen dan
film baik sebagai sistem sastra maupun film cukup luas. Tulisan ini hanya difokuskan
pada aspek tokoh dan penokohan dalam mendukung alur cerita baik dalam cerpen
maupun filmnya.
B.
Kerangka Teori
1.
Ekranisasi
Proses adaptasi
dari suatu genre sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah ekranisasi.
Istilah ini sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Prancis, écran yang berarti ‘layar’. Eneste
(1991: 60) mengistilahkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayar-putihan
atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste juga
menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau
mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi juga
bisa disebut sebagai proses perubahan—bisa mengalami penciutan, penambahan
(perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi.
Dalam istilah
yang lain, Damono (2005: 96) menyebutnya dengan istilah alih wahana. Istilah
ini hakikatnya memiliki cakupan yang lebih luas dari ekranisasi. Lebih lanjut,
Damono menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian
ke dalam jenis kesenian lain. Alih wahana yang di maksudkan di sini tentu saja
berbeda dengan terjemahan. Terjemahan atau penerjemahan adalah pengalihan karya
sastra dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sedangkan alih wahana adalah
pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi jenis kesenian lain. Damono
mencontohkan cerita rekaan diubah menjadi tari, drama, atau film. Alih wahana
juga dapat dilakukan dari film ke novel, atau bahkan puisi yang lahir dari
lukisan atau lagu dan sebaliknya. Lebih lanjut disebutkan bahwa di dalam alih
wahana akan terjadi perubahan. Dengan kata lain, akan tampak perbedaan antara
karya yang satu dan karya hasil alih wahana tersebut. Alih wahana novel ke film
misalnya, tokoh, latar, alur, dialog, dan lain-lain harus diubah sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan keperluan jenis kesenian lain (Damono, 2005: 98).
Perbedaan wahana
atau media secara langsung akan mempengaruhi cara penyajian cerita, bentuk
penyajian cerita. Selain masalah keterbatasan (limit) yang dimiliki oleh
masing-masing media (seperti dijelaskan oleh Bluestone, 1957: 1), masalah
proses resepsi, pembacaan, penulis skenario atau sutradara terhadap karya
tersebut juga akan berpengaruh terhadap kehadiran karya adaptasi. Karena
resepsi tidak dapat lepas dari interpretasi. Dalam proses tersebut,
kompleksitas permasalahan ideologi dan tujuan-tujuan, intensi, pesan, misi, dan
keinginan penulis skenario, sutradara ataupun produser sangat dipengaruhi oleh
jiwa zaman, fenomena sosial yang berkembang, kultural, dan sosial
masyarakatnya.
2.
Kreativitas
2.1.
Antara Potensi dan Keterbatasan
Setiap media
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk menyikapi proses alih
wahana tersebut jelas diperlukan upaya-upaya kreatif agar karya tersebut mampu
diterima dengan baik oleh audiennya. Dalam konteks alih wahana sastra (cerpen –
novel) ke film, setidaknya ada dua langkah yang dapat ditempuh, yaitu penciutan
dan perluasan (Eneste, 1991: 61 – 64). Dengan penciutan jelas bahwa tidak semua
hal yang diungkapkan dalam novel akan ditampilkan sepenuhnya dalam film. Adapun
perluasan (penambahan)
dilakukan dengan alasan kepentingan relevansi cerita (logika film) secara
keseluruhan atau karena berbagai alasan lain.
Lebih lanjut,
hal ini dijelaskan Lutters (2004: 47 – 48) bahwa atas nama kepentingan
relevansi cerita (logika film), pembuatan skenario yang berasal dari
karya-karya sastra (cerpen – cerber – roman – novel) tidak mungkin 100%
mengikuti alur cerita aslinya. Karena, skenario dapat saja memulai cerita
dimulai dari bagian tengah atau bahkan dari belakang. Hal ini sangat
dimungkinkan, dengan harapan dapat memancing penonton untuk tetap mengikuti
kelanjutan cerita. Batas-batas untuk lebih mengeksplorasi ide cerita menjadi
sebuah skenario film adalah kemungkinan dan kelemahannya untuk dapat diwujudkan
secara visual. Tidak semua cerita dapat menarik perhatian orang untuk
mengikutinya. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian banyak film yang tidak laku
di pasaran, walaupun telah menawarkan artis terkenal sebagai pemeran tokohnya
(Widagdo dan Winastwan, 2004: 19).
Terkait dengan
hal ini Eneste (1991: 64) menegaskan bahwa beberapa alasan atau kemungkinan
tentunya pada kasus tersebut: pertama, anggapan bahwa adegan maupun tokoh
tertentu dalam karya sastra tersebut tidak diperlukan atau tidak penting
ditampilkan dalam film atau alasan kedua, sebaliknya jika dihadirkan dalam film
justru dianggap mengganggu. Ketiga, adanya keterbatasan teknis film, bahwa tidak
semua bagian adegan atau cerita dalam karya sastra dapat dihadirkan di dalam
film. Keempat, adalah alasan penonton atau audiens, hal ini juga berkaitan
dengan persoalan durasi waktu
Pada tahap
berikutnya, skenario tersebut masih harus melewati proses resepsi sutradara
dalam proses produksi. Terkadang ada sutradara yang senang dengan penggunaan
detail istilah-istilah baku dalam penulisan skenario, akan tetapi ada juga
sutradara yang justru merasa terganggu karena kreativitasnya dibatasi oleh
skenario tersebut. Atau ada juga, penulis skenario yang mungkin tidak begitu
mengerti proses pembuatan film sehingga dengan asal-asalan dia menggunakan
istilah-istilah tersebut (Asura, 2005: 92). Sebelum pengambilan gambar pada
tahap produksi, orang pertama yang mengetahui rencana hasil jadinya sebuah
karya film adalah sutradara. Seorang sutradara menggelar theatre of mind yang dimilikinya untuk melatih pengucapan dialog
para talent-nya pada tahap reading. Sang sutradara pun mengolah
skenario, mempelajarinya dan jika perlu melakukan rewriting terhadap dialog atau action
yang ada, mungkin pula menambahkan icon
setting untuk memperkuat dan mengoptimalkan kualitas visualisasinya. Dalam
proses inilah dituntut kreativitas, kejelian, ketelitian, kepekaan terhadap
karakter penonton dan sentuhan citra rasa seni sehingga mampu mengangkat
kekhasan karya filmnya (Widagdo dan Winastwan, 2004: 28, 41).
Dengan demikian,
skenario bukanlah karya sastra yang menjadi hasil akhir sebuah karya seni.
Skenario merupakan bahan baku dasar sebagai blue
print kerja produksi. Oleh karena itu, gaya penyampaian dalam skenario
menggunakan bahasa filmis. Satu hal yang membuat skenario tampak hidup yaitu
adanya konflik. Jika skenario tidak ada unsur konfliknya, maka yang terjadi
terlihat seperti visualisasi buku harian. Skenario yang baik adalah yang
mempunyai acuan struktur tangga dramatik, adegan yang proporsional dan
penyampaian alur peristiwa secara runtut (Widagdo dan Winastwan, 2004: 17, 28)
C.
Pembahasan
Secara keseluruhan
cerita yang diangkat ke layar lebar nyaris utuh, sama dengan cerpennya. Tidak
banyak perubahan yang terjadi, kalaupun ada, sifatnya hanya
penambahan-penambahan terhadap tuntutan detil yang logis.
1. Nur
Seperti kita ketahui, tokoh Nur ini baik dalam
film maupun novel adalah sebagai tokoh utama. Fungsi tokoh Nur dihadirkan
menunjukkan seorang gadis yang sangat sayang kepada ibunya. Hal ini terlihat
dalam film bahwa Nur mempunyai kemauan yang kuat untuk membahagiakan ibunya.
Hal itu juga tergambar dalam novel. Tokoh Nur menggambarkan seorang gadis yang
sangat sederhana, impian dia sebenarnya tidak terlalu tinggi, hanya saja dia
ingin menebus impian Sekar ibunya. Yaitu ibunya menginginkan Nur menjadi
seorang yang sukses dan berharap mimpi untuk mempunyai istana di waktu dia kecil
bermain-main dengan tanah liat menjadi kenyataan. Hal itu mengandung pesan
bahwa kekuatan mimpi sesungguhnya luar biasa. Ketika kita berani bermimpi
dengan keyakinan yang kuat, maka suatu saat mimpi itu pasti akan terwujud.
Digambarkan pula, Nur memiliki
karakter yang pantang menyerah. Demi mewujudkan impiannya, dia rela menerima
hinaan-hinaan dari orang-orang di sekitarnya. Selain itu, Nur juga memiliki
karakter sebagai sosok yang pemberani. Ini dibuktikan ketika dia berhasil
mengejar perampok yang mencoba kabur setelah merampok dari warnet tempat Adul
dan Robin bekerja.
Sifat yang
terlihat lainnya adalah karakter kejudesannya dalam menanggapi Dian yang sok
kenal itu banyak memberinya khutbah ketika baru beberapa menit bertemu.
Dari segi penokohan, Tokoh Nur dalam
cerita ini diperankan oleh artis terkenal Acha Septriasa dan mengingat raut
muka Acha yang terlihat polos sehingga sangat cocok sekali dengan peran yang ia
bawakan.
Dalam perjalanannya, Dia dipertemukan
dengan Dian, seorang pelaku MLM yang sudah berlevel tinggi. Karena sifat
ketidakputus-asaan Dian dalam membuktikannya kepada Nur, akhirnya Nur termakan
juga oleh pengaruh seorang Dian. Dan setelah mengalami proses yang begitu
hebat, Nur pun dapat mewujudkan impian-impiannya.
Di ending cerita dalam novel diceritakan,
Nur akhirnya menikah dengan Dian dan hidup bahagia. Pernikahan itu bertepatan
dengan diperingatinya hari kartini (21 April). Tetapi dalam film hanya di
ceritakan sampai Nur mempersembahkan istana megah kepada ibunya tercinta.
2. Sekar
Sekar
di sini di jelaskan dalam film, dia fungsinya hanya sebagai pemeran pembantu
dari tokoh utama. Tokoh Sekar ini dalam film hanya diceritakan bahwa dia ketika
tidur bermimpi tentang masa lalunya dimana dia sedang ikut di tempat bekerja
ibunya yang bekerja sebagai buruh pembuat keramik dari tanah liat dan dia
menggunakan tanah liat itu milik majikannya itu untuk membuat istana. Sedang
dalam novel di ceritakan panjang lebar masa lalunya dia dari Nur kecil yang
mana dulu hidup di desa hingga dia pergi meninggalkan desa dan merantau ke kota
dengan mencari nafkah sebagai buruh laundry.
Di samping itu, tokoh Sekar dalam film
diperlihatkan bahwa dia berambut pendek. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan gambaran yang ada di dalam novel bahwa dia tengah berambut panjang. Tak
hanya itu, dalam novel pun di hadirkan tokoh Pak Lik Minto yang banyak membantu
Sekar dalam kehidupannya ketika dia baru sampai di kota pertama kali. Pak Lik
Minto ini diceritakan bahwa dia adalah adik kandung dari Susilo “tokoh novel”
(ayah kandung Sekar) yang telah sukses hidupnya di kota. Namun hal ini tidak
terdapat dalam film.
Di saat Sekar tengah sakit di rumah
sakit, seperti terlihat dalam film bahwa hasil analisa dokter diputuskan bahwa
Sekar menderita penyakit tumor di kepalanya. Akan tetapi dalam novel dijelaskan
di situ bahwa Sekar bukan menderita penyakit tumor, melainkan penyakit kelenjar
getah bening. Hal itu sangat berbeda sekali.
3. Dian
Tokoh dian di sini dihadirkan dalam
rangka sebagai penguat karakter tokoh utama. Dian dijelaskan dalam novel
sebagai sosok yang banyak bercanda dalam dialognya. Ini menunjukkan tokoh Dian
yang seorang network-marketing seharusnya tidak bersikap demikian, karena
seorang network-marketing adalah seseorang yang dinilai orang dari cara
bicaranya dan memang network-marketing adalah bagaimana bisa memprospek orang
dengan kewibawaannya dalam berbicara agar bisa berpengaruh terhadap orang yang
tengah diprospeknya. Untuk penokohan Dian di dalam film, sosok Dian yang
diperankan oleh Fedi Nuril memang bisa dibilang sesuai dengan peran yang
dibawakan.
Diceritakan pula, tokoh Dian
mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai pembelok cerita. Dikatakan demikan karena
secara keseluruhan film menceritakan tentang perjuangan seorang permpuan dalam
memilih takdir hidupnya sendiri, namun tokoh Dian ini menghadirkan sisi
romantisme.
4. Pak Madrim
Sebuah film tidak akan menarik tanpa
tokoh humoris di dalamnya, itulah mengapa sang sutradara menambahkan tokoh ini.
Fungsi lain dari tokoh ini adalah sebagai perantara antara tokoh utama dengan
Dian. Pak Madrim adalah penggambaran sosok masyarakat kecil yang mempunyai
kehidupan yang sederhana. Dalam film tidak ada perbedaan dengan tokoh yang
terdapat dalam novelnya. Dalam novel pula, diceritakan tokoh ini mempunyai anak
3. Salah satunya adalah buyung, yang mana dalam film dia lebih diceritakan
sebagai pembantu di warung Pak Madrim.
5. Bu Madrim
Tokoh bu Madrim di sini adalah
pendukung dari tokoh Pak Madrim dimana memperkuat kesan sederhana pada keluarga
Pak Madrim. Bu Madrim ini adalah sosok yang baik hati. Dia banyak menolong pada
keluarga Nur.
6. Adul dan Robin
Tokoh adul dan robin adalah sahabat
Nur. Tokoh difungsikan sebagai tokoh pendukung tokoh utama yang mempertemukan
Nur dengan Pak Fuad, seorang rentenir. Tokoh robin di sini baik dalam film dan
novel juga sebagai pemicu konflik. Ini terlihat ketika semua jaringan dalam
bisnis Nur dihasutnya untuk pindah mengikuti bisnis Robin. Akhirnya, Nur
melabrak dia dan memaki-maki dia. Sedang untuk tokoh Adul, dialah yang member
alamat kepada Nur dimana rumah Pak Fuad ketika tokoh Nur sedang berada dalam
kesulitan. Yang maksudnya adalah untuk meminjam uang.
7. Pak Fuad
Tokoh ini menjadi bagian dari konflik
yang dialami tokoh utama. Di dalm film diceritakan Pak fuad adalah pemilik
warnet tempat Adul dan Robin bekerja. Konflik muncul ketika Nur tidak bisa
mengembalikan hutang dari Pak Fuad, sehingga Pak Fuad memberikan dispensasi
waktu jatuh tempo asalkan dia mau menuruti hawa nafsunya.
Selain itu,
diceritakan dalam novel bahwa kejadian Nur akan diperkosa oleh Pak Fuad terjadi
di ruangan di dalam warnet dimana Pak Fuad sedang menghitung uang hasil usaha
warnetnya. Ruangan itu pula yang digunakan oleh Pak Fuad ketika dia pulang
dengan membawa perempuan-perempuannya dari bar. Akan tetapi, dalam film
diceritakan bahwa kejadian Nur akan diperkosa terjadi di dalam rumahnya.
8. Mbak Susi
Tokoh ini
difungsikan sebagai :
1. Tempat curhat Nur
Sehingga di
dalam film dapat memunculkan konflik pada diri Nur. Maksudnya jika tokoh mbak Susi
tidak dihadirkan dalam film ini, maka konflik yang ada pada diri nur tidak bisa
dimunculkan.
2. Penggambaran kehidupan bebas di daerah
perkotaan pada jaman sekarang.
Digambarkan dalam film dan novel, Mbak Susi
bekerja di bar.
D.
Penutup
Secara
keseluruhan novel
“Menebus
Impian”
hanya mengalami penambahan-penambahan untuk menambah
menariknya cerita itu, karena memang novel dibuat setelah film itu selesai
pembuatannya. Dalam novel mengalami penambahan-penambahan tokoh yang lebih
banyak di munculkan. Semisal ketika Nur membayar biaya kuliah di loket kampus,
di situ muncul tokoh Mbak Lusi yang sering Nur berhutang uang padanya. Pada
Sekar ibunya, diceritakan di situ tentang masa lalunya, kehidupannya dulu serta
kehidupan Marni (Ibu Sekar) yang tengah menikah dua kali. Selain itu, Ada tokoh
Susilo (ayah kandung Sekar yang meninggal karena dia tertimbun lelongsoran
tanah galian. Di sisi Nur, terdapat pula dimunculkan di situ tokoh Rohmat yang
selalu member dorongan dan motivasi kepada Nur. Di bagian ending cerita, di
situ digambarkan ending yang indah dengan bahagianya Nur dan ibunya sehingga
penonton merasa puas dengan apa yang disaksikannya.
Inilah
film yang di tunggu oleh jutaan orang di Indonesia untuk bangkit dari
keterpurukannya dan berani untuk menjemput impiannya. Film ini akan menjadi
energi bagi orang-orang untuk berjuang menuju kesuksesannya.
Lampiran
Event pada film
Menebus Impian.
1. Opening :
Sekar bermain tanah liat
a. Pak Gendut memanggil Marni.
b. Marni datang.
c. Marni menyeret Sekar dengan paksa untuk
meninggalkan tempat itu.
d. Sekar masih kembali lagi untuk mengambil
istana dari tanah liatnya.
e. Marni dengan sangat marah membanting
istana tanah liat Sekar.
2. Sekar
terbangun dari mimpi masa kecilnya itu.
a. Sekar bangun
b. Sekar memandangi foto istana di depan
cermin kamarnya.
c. Sekar keluar rumah.
d. Di luar rumah, Sekar memandangi
tetangganya perempuannya sedang bertengkar dengan suaminya.
e. Sekar kembali ke dalam rumah merapikan
pakaian-pakaian laundry yang telah selesai.
3. Nur datang
memanggil-manggil sekar ibunya.
a. Nur menyerahkan sabun cuci.
b. Ibunya menyuruh Nur untuk mengantarkan
laundry annya yang sudah jadi ke kamar kos-kosan depan.
c. Sekar pergi naik ke tempat jemuran untuk
menjemur pakaian laundry nya yang belum kering.
d. Nur ikut naik ke tempat jemuran di atas
rumahnya untuk membantu mengemasi jemuran yang sudah kering.
e. Sekar menanyakan kepada Nur apakah uang
kuliah tadi sudah dibayarkan?
f. Nur dengan ragu-ragu menjawab sudah.
g. Nur menanyakan kepada ibunya bagaimana
Nur kuliah sambil kerja?
h. Sekar tidak memperbolehkan Nur untuk
mikirin kerja.
i. Sekar ibunya menyuruh Nur untuk fokus
pada kuliahnya.
h. Sekar ibunya berharap Nur cepat lulus
kuliah dan dapat kerjaan.
j. Sekar ibunya juga berharap agar Nur jadi
orang sukses.
4. Nur
mengantarkan pakaian hasil laundry nya ke tempat warung Pak Madrim.
a. Pak Madrim menawarkan minuman buatan
Buyung anaknya yang baru.
b. Nur mengiyakan.
c. Pak Madrim menyuruh buyung membuatkan
Nur es bulan Madu.
d. Nur sekilas melihat seorang laki-laki
asing di warung Pak Madrim yang berpakaian rapi.
e. Nur bertanya kepada Pak Madrim siapa
laki-laki itu.
f. Pak Madrim menjawab bahwa laki-laki itu
adalah cowok kampong sebelah.
g. Buyung datang dengan membawa es bulan
madu.
h. Nur mencobanya.
i. Nur mengatakan bahwa e situ enak sekali.
j. Nur mengatakan pada Pak Madrim bahwa dia
mau mencari kerja dengan suara keras.
k. Lelaki itu tak sengaja mendengarnya.
5. Nur ke loket
kampus untuk membayar uang kuliah.
a. Petugas loket mengingatkan bahwa uang
Nur yang dibayarkan kurang.
b. Petugas loket mengingatkan lagi bahwa
uang semesteran sudah diumumkan naik.
c. Nur meminta dispensasi kepada petugas
loket.
d. Petugas loket tidak menuruti
keinginannya.
e. Petugas loket menembalikan uang Nur.
6. Nur termenung
di dalam kamar dengan pikiran berat.
a. Di luar kamar Mbak Susi berbincang
dengan ibunya.
b. Mbak Susi mencari Nur.
c. Nur dipanggil oleh ibunya.
d. Nur mengembalikan uang kuliah lagi
kembali ke dalam lipatan sela-sela bukunya.
e. Nur keluar dari kamarnya menuju Mbak
Susi.
7. Nur datang di
tempat kerja Adul dan Robin.
a. Adul menanyakan kepada Nur kenapa tidak
kuliah?
b. Nur menjawab libur dalam rangka
suka-suka dia.
c. Nur meminta kepada Adul untuk mulai hari
itu dia bantu-bantu di warnet.
d. Robin menjelaskan kepada Nur bahwa
tempat itu bukan miliknya, dia hanya jongos di situ.
e. Nur meminta dengan sangat untuk
dipertemukan dengan bosnya, agar dia diijinkan kerja di warnet itu.
8. Sekar seperti
biasa menyelesaikan laundry titipan orang di rumah.
a. Mesin cuci sekar tiba-tiba mati.
b. Sekar merasa gelisah.
9. Nur membuka
internet untuk mencari-cari lowongan kerja di tempat Adul dan Robin.
a. Seorang laki-laki mencoba merampok.
b. perampok itu menyuruh Robin menyerahkan
semua uangnya.
c. Nur nencoba menggertaknya tapi perampok
itu secara reflek menodongkan pisaunya ke arah Nur.
d. Perampok itu lari.
e. Nur mencoba menangkap perampok itu.
f. Perampok memukul Nur mengenai tepat pipi
kirinya.
g. Perampok itu lepas.
h. Warga kampung ikut mengejar.
i. Nur mencari jalan pintas.
j. Perampok tertangkap oleh Nur dan warga kampung.
k. Ibunya marah ketika tahu Nur tidak
kuliah tetapi malah maen sama Adul dan Robin.
l. Ibunya menanyakan pada Nur berapa kali
bolos kuliah.
m. Nur menjawab satu kali.
n. Ibunya merasa kecewa karena dibohongi
Nur.
10. Sekar ibunya
mencuci di depan rumah.
a. Nur keluar melihat ibunya mencuci
dengan tangan.
b. Nur masuk ke dalam memeriksa mesin
cucinya yang ternyata rusak.
c. Nur pergi ke ruang tengah.
d. Nur melihat-lihat sebuah buku masa
kecil ibunya.
e. Dalam buku itu terlihat gambar istana.
11. Di warung
Pak madrim, terlihat Dian sedang mempresentasikan bisnisnya kepada Pak Madrim.
a. Buyung datang mengantarkan es pesanan
Dian.
b. Nur datang.
c. Pak Madrim memanggil Nur.
d. Nur mendekat.
e. Pak Madrim menanyakan keadaan emaknya.
f. Nur menjawab, “baik-baik saja.”
g. Pak Madrim meminta Nur berkenalan
dengan Dian yang ada di hadapannya.
h. Diam dengan senyum mengulurkan tangan.
i. Nur membalas dengan muka dingin.
j. Pak Madrim menjelaskan kepada Nur bahwa
dia sedang memperkenalkan network-marketing.
k. Nur dengan sigap mengatakan, ”MLM?”
l. Dian mengiyakan.
m. Dian berkata kepada Nur, “kebetulan ada
kamu, saya akan ulangi penjelasan tadi.”
n. Nur menjawab masih dengan sikap yang
dingin, “ gak usah!gak usah!”
o. Dian kembali melanjutkan penjelasannya.
p. Nur meminta ijin pada keduanya untuk
pergi ke depan warung.
q. Nur meminta maaf kepada Dian,
“kapan-kapan aja ndengernya.
r. Nur pergi.
s. Dian meminta pada Nur, “panggil Dian
aja, jangan pakai mas!”
12. Nur duduk
termenung di dekat warung Pak Madrim.
a. Dian menghampiri.
b. Nur bertanya, “udahan di dalem?” dengan
suara agak kasar.
c. Dian menjawab, “udah.”
d. Nur bertanya, “trus ngapain di sini?”
e. Dian menjawab, “emangnya ga boleh duduk
sini!”
f. Nur membolehkan, “asalkan jangan
berisik!”
g. Dian menghujani beberapa pertanyaan.
h.
Nur dengan tegas mengatakan, “kan saya udah bilang jangan berisik.”
i. Dian meminta, “kalo besok ada waktu,
bisa ketemu?”
j. Nur mengelak dan marah-marah.
k. Dian mengatakan, “kemaren katanya kamu
mau cari kerja?”
l. Nur menjawab, “ya iya, tapi yang
pasti-pasti aja.”
m. Dian menegaskan, “semua pekerjaan kalo
dikerjakan dengan baik, hasilnya pasti kok.
n. Nur bergegas untuk pergi dari situ.
o. Dian berkata, “ kamu ga mau ngrubah
hidup kamu Nur?”
p.
Nur langsung pergi tanpa menghiraukan Dian.
13. Nur sampai
di rumah dengan lesu.
a. Nur melihat ibunya berbaring di kamar.
b. Ibunya terlihat habis sedang kerokan.
14. Nur duduk
termangu dalam kereta.
a. Matahari terlihat semakin ke tengah.
15. Nur tiba di
warnet tempat kerja Adul dan Robin lagi.
a. Nur menceritakan tentang MLM kepada
Adul dan Robin.
b. Robin kaget, “ngapaen sih Nur lu ikut
gituan?”
c. Nur menjawab, “yee, sapa yang ikut,
orang gue crita.”
d. Pak Fuad pemilik warnet datang.
e. Pak Fuad mengecek warnetnya, “ga da
yang hilang kan?”
f. Robin dan Adul menjawab, “ga ada pak.”
g. Pak Fuad terpana melihat sosok Nur.
h. Robin mengenalkan Nur pada Pak Fuad.
i. Adul menjelaskan pada Pak fuad, Nur mau
kerja di sini sambil kuliah.
j. Pak Fuad berkata, “Di tempat ini kn
udah ada Adul ma Robin Nur, masak iye ente mau kerja di sini juga.”
k. Nur terlihat sedih menundukkan kepala.
m. Pak Fuad dengan senyum merayu berkata
lagi, “yaudah, jangan sedih gitu donk Nur, nanti ane kabarin yah. Siapa tau di
tempat lain masih bisa. Kan bisnis ane ga cumin di sini.”
n. Pak Fuad lalu pergi.
o. Pak Fuad mengingatkan pada Adul dan
Robin agar lebih berhati-hati supaya tidak kerampokan lagi.
16. Susi di
rumah Sekar tampak keheranan melihat cucian laundry nya menumpuk.
a. Sekar menjawab dengan tenang, “udah
biasa kok Sus.”
b. Susi menyarankan untuk membeli mesin
cuci baru.
c. Sekar hanya tersenyum.
d. Sekar tampak memegangi kepalanya yang
sakit.
e. Susi menawarkan untuk memijitnya.
f. Sekar menjawab, “ga usah, mungkin
kecapekan aja.”
g. Susi menyarankan untuk pergi ke dokter.
17. Nur ketemu
Dian di jalan dekat kampungnya.
a. Dian menyapa, “halo Nur, pa kabar?”
b. nur menjawab, “baik.”
c. Nur bertanya, “kok di sini?”
d. Dian menjawab, “tu rumahku di situ.”
e. Nur bertanya, “mau jualan?”
f. Dian diam sejenak.
g. Dian menjawab, ohh,iyah.”
h. Nur pergi sambil mengucapkan,
“muga-muga dagangannya laku.”
i. Dian senyum mengangguk-angguk.
18. Nur membuka
laci kamarnya.
a. Nur membuka-buka ijazahnya.
19. Nur pergi ke
tempat fotocopy.
a. Nur meng-copy ijazahnya.
b. Nur bermaksud ingin melamar kerja.
20. Nur pergi ke
rumah Dian.
a. Nur menanyakan kepada ibunya, “Dian ada
buk?”
b. Ibunya menjawab, “Dian belum pulang
Nur,tadi sore sempet pulang. Trus pergi lagi.
c. Dian datang, “ada kok.”
d. Dian bertanya, ada apa Nur?”
e. Nur menjawab, gue mau bikin surat
lamaran kerja tapi masih bingung.
f. Dian menyuruh masuk karena komputernya
di dalam.
g. Nur mulai mengetik.
h. Ibunya Dian membawakan minuman.
i. Dian menyiapkan kertas print.
21. Nur selesai
mengetik.
a. Nur duduk di kursi depan.
b. Dian datang menemani.
c. Dian membuka percakapan.
d. Dian bermaksud menjelaskan bisnisnya.
e. Nur kali ini mengiyakan, “ok deh.
Itung-itung rasa ucapan trima kasih gue.”
f. Dian bertanya kepada Nur, “apa impian
kamu Nur?”
g. Nur menjawab, “akuuu….. (diam sejenak),
aku pengen bahagiain ibu.”
h. Dian selesai menjelaskan.
i. Dian berpesan, “inget Nur, modal awal
kamu adalah impian kamu.”
22. Nur mulai
membuat dream book.
a. Nur menempel-nempel barang-barang yang
dia inginkan. Termasuk foto emaknya tersenyum di situ.
b. Nur menjelaskan pada Pak Madrim.
c. Istri Pak Madrim tidak mengijinkan
suaminya ikut begituan.
23. Nur
mempelajari cara memulai bisnis itu.
a. Nur membuka-buka Stater pack.
b. Nur mempelajari bagian cara menelepon
orang.
24. Nur membuat
daftar nama.
a. Nur melingkari siapa orang yang akan di
prospeknya.
25. Nur mulai
menelepon.
a. Teman Nur langsung menutup teleponnya.
b. Nur kembali mempelajari bukunya.
c. Nur menelepon lagi.
d. Semua orang di telepon menolaknya.
26. Robin
menjelaskan bisnis barunya kepada Nur.
a. Nur menyangkal, “ahh, itu mah money game.”
b. Nur menjelaskan bahwa money game itulah
yang dilarang.
27. Sekar
menjemur laundry-annya.
a. Sekar terlihat kesakitan memegangi
kepalanya.
b. Sekar jatuh pingsan.
28. Susi datang
mencari Sekar.
a. Susi melihat Sekar jatuh di lantai.
b.
Susi meminta tolong.
29. Nur sedang
mengadakan presentasi kecil-kecilan.
a. Nur mengumpulkan beberapa temannya
untuk dijelaskan.
30. Pak Madrim
kebingungan mencari Nur.
a. Pak Madrim meminta nomor kampusnya pada
buyung.
b. Dian datang.
c. Dian bermaksud ingin menyusul Nur ke
kampusnya.
d. Susi mencoba menenangkan Sekar di
kamar.
31. Nur selesai
menjelaskan bisnisnya.
a. Semua temannya menertawakan Nur.
b. Salah satu temannya mengatakan,
“amit-amit nur, mending gue jadi gigolo.”
32. Dian
memberitahukan kepada Pak Madrim bahwa Nur tidak ada di kampusnya.
a. Nur datang di malam hari.
b. Mbak Susi mencoba menjelaskan
kejadiannya kepada Nur.
c. Nur lari menuju kamar ibunya.
d. Nur terkejut di kamar ibunya.
33. Nur bercakap
dengan Dian di luar.
a. Nur mengatakan, “dokter puskesmas
menyarankan agar Sekar ibunya dibawa ke rumah sakit.
b. Dian menawarkan akan meminjaminya uang
untuk nanti bayaran rumah sakit.
c. Nur bertanya, “duit dari mana lo?”
d. Dian menjawab, “bonus dari Grand
Vision.”
e. Nur menceritakan semua yang
dilakukannya siang tadi.
f. Dian mencoba menyemangati Nur
g. Dian beranjak pergi, “serah kamu deh
Nur, gue Cuma mastiin elo baik-baik aja.
34. Nur pergi ke
rumah Mbak Susi.
a. Nur meminta Mbak Susi untuk
mencarikannya kerja.
b. Mbak Susi berkata, “nanti aku cariin
deh Nur.”
35. Sekar
teringat saat bertengkar dengan suaminya.
a. Sekar terlihat sedih.
b. Nur memeluk ibunya dari belakang.
36. Seorang
tetangga memarahi ibunya.
a. Nur keluar memarahi tetangganya.
b. Nur berjanji akan menyelesaikan
laundry nya siang nanti.
37. Sekar dari
dalam rumah memandangi nur yang sedang mencuci.
a. Sekar menangis.
b. Sekar kembali teringat kejadian masa
kecilnya.
38. Nur
mengantarkan cuciannya.
a. Nur menerima uang.
39. Nur melihat
ibunya pingsan dengan mata terbuka.
40. Nur menunggu
ibunya di rumah sakit.
a. Dian datang.
b. Nur menceritakan, “ada tumor otak di
kepala ibu. Ia harus segera di operasi.
c. Nur sangat sedih.
d. Nur memberikan kalung bernamanya
kepada Dian sebagai jaminan.
41. Nur di rumah
mengemasi pakaian ibunya.
a. Nur melihat gambar istana tertempel di
cermin.
b. Nur bertemu Susi di luar rumah.
c. Susi memberitahukan bahwa ada
pekerjaan di tempatnya.
42. Nur
menceritakan hal itu kepada Dian.
a. Dian tidak menyetujuinya.
b. Nur marah-marah.
c. Dian mengatakan, “gue cumin pilihin
yang terbaik buat elo,Nur. Karna gue sayang kamu.
43. Nur mulai
kerja di bar.
a. Nur di kenalkan dengan Om Burhan.
b. Nur menjadi pelayan.
44. Nur menawari
bisnisnya kepada Om Burhan.
a. Nur ditertawai oleh Om Burhan.
45. Nur
menjelaskan bisnisnya pada Mbak Susi.
a. Mbak Susi tidak menggubrisnya.
46. Nur
memprersentasi teman-temannya di bar.
a. Teman-temannya bilang, “ahh, ribet.”
47. Sekar
terlihat hidungnya mengeluarkan darah.
48. Nur datang
mencari ruangan ibunya.
a. Nur menangis tersedu-sedu tanpa suara
ketika ditanya ibunya kuliah jam berapa?
49. Nur
hujan-hujan berlari ke rumah Dian.
a. Ayahnya mengatakan, “Dian belum
pulang.”
50. Nur pergi
menemui Pak Madrim.
a. Pak Madrim tidak ada di rumah, pergi
kondangan ke Bogor.
b. Nur mencoba meminjam uang kepada
Buyung.
c. Buyng tidak punya duit sepeser pun.
51. Nur di jalan
ketemu dengan Mbak Susi.
a. Nur meminjam Duit kepada Mbak Susi.
b. Mbak Susi mengatakan, “ga ada, Nur
kalo duit segedhe itu.”
52. Nur pergi ke
rumah Adul.
a. Nur meminta alamat Pak Fuad kepada
Adul.
b. Adul mengingatkan, “Nur, Pak Fuad kalo
ngasih pinjaman ga tanggung-tanggung ngasih bunga Nur.
c. Nur tidak memperdulikannya.
53. Nur
mendatangi rumah Pak Fuad.
a. Pak Fuad membukakan pintu.
54. Nur pulang
dalam keadaan loyo.
55. Ibunya di
rumah sakit sedang di gunduli rambutnya.
a. Nur di dekatnya memandangi dengan
senyum.
b. Ibunya dibawa dengan kereta dorong
menuju ruang operasi.
c. Nur menciumnya ketika mau operasi.
56. Dian
bertanya pada Nur, “Maaf Nur, kamu dapet uang dari mana?”
a. Nur hanya menjawab, “adalah.”
57. Nur mencoba
melakukan presentasi kembali.
b. Dian di sampingnya membantu
menjelaskan.
58. Nur
mempresentasi tetangganya.
a. tetangganya malah masuk rumah
meninggalkannya.
59. Nur lewat di
gang kampungnya.
a. Seorang tetangga meledeknya, “loh Nur,
kok jalan kaki, mana BMW-nya?”
b. Semua tetangga menyingkir ketika Nur
lewat.
c. Nur tidak mengiraukan.
60. Nur mengecek
biaya rumah sakit.
61. Nur
mendatangi Pak Fuad lagi.
a. Nur bermaksud meminjam uang lagi.
62. Nur pulang
ke rumah.
a. Terlihat Dian duduk menunggunya.
b. Nur bertanya, “ngapain sih subuh-subuh
ke sini?”
c. Dian menjawab, “ku kangen sama kamu.”
d. Dian bermaksud mengajak Nur untuk
hadir pada pertemuan akbar Grand Vision.
63. Acara
tahunan Grand Vision dimulai.
a. Semua yang hadir tampak antusias
sekali.
b. Di acara itu di umumkan siapa saja
yang dapat reward tahun ini.
c. Nama Dian di panggil.
d. Dian maju ke panggung.
e. Dian mendapatkan reward sebuah mobil
mewah.
64. Nur
melakukan presentasi lagi dengan lebih bersemangat.
65. Nur lewat
depan warung Pak Madrim.
a. Pak Madrim beserta istrinya ingin
bergabung dalam bisnis itu.
b. Buyung pun tidak kalah dengan Pak
Madrim, dia juga mau ikut.
66. Nur di jalan
bertemu dengan Robin.
a. Robin ingin bergabung dengan bisnis
Nur.
67. Nur mengecek
saldo tabungannya di bank.
a. Nur terlihat senyum karena uangnya
bertambah banyak.
68. Nur
mengatakan pada Om Burhan bahwa dia mau keluar dari kerjaannya itu.
a. Om Burhan memberinya gaji terakhir.
69. Nur membawa
ibunya ke rumah kontrakan baru.
a. Ibunya keheranan.
b. Nur mencoba menjelaskan kepada ibunya.
c. Ibunya melihat sebuah mesin cuci baru.
d. Ibunya tampak senang sekali.
70. Nur di depan
rumah menunggu para tamunya.
a. Pak Madrim menelepon.
b. Pak Madrim memberitahukan bahwa omzet
kita hancur gara-gara Robin.
71. Nur
menelepon Dian.
a. Nur tiba di tempat Dian.
b. Nur melihat Dian sedang bersama dengan
perempuan.
c. Nur marah dan meninggalkan Dian.
72. Nur
mendatangi Robin.
a. Nur memaki-maki Robin.
b. Adul datang memisah.
73. Nur di dalam
bus termenung.
a. Dian menelepon.
b. Nur tidak mengangkatnya.
c. Nur membuang semua buku-bukunya
tentang Grand Vision.
74. Nur
terbangun dari tidurnya.
a. Nur mencegah ibunya untuk tidak
mencuci.
b. Ibunya tetap bersikeras.
c. Nur menceritakan semua pada ibunya
kalau ia sedang cuti kuliah.
d.
Ibunya sangat kecewa sekali.
75. Nur
mendatangi rumah Pak Fuad.
a. Mak Susi mengikutinya.
b. Nur menjelaskan kepada Pak Fuad bahwa
dia belum bisa membayarnya.
c. Pak Fuad berkata, “ya sudah, Nur. Lain
kali kan ga pa pa.”
d. Pak Fuad mendekat pada Nur.
e. Pak Fuad mengelus-elus rambut Nur.
f. Pak Fuad akan memperkosanya.
g. Mbak Susi mengintip dari jendela.
h. Mbak Susi meminta tolong.
i. Pak Fuad dipukuli warga kampong.
76. Nur terlihat
putus asa sekali.
a. Mbak Susi mencoba member saran.
77. Dian datang
ke tempat Pak Madrim.
a. Pak Madrim menjelaskan semua persoalan
Nur.
78. Dian duduk
sambil memegangi kunci mobil barunya.
a. Dian menemukan buku-buku Grand Vision
milik Nur di bawa oleh tukang sampah.
79. Dian datang
menemui Nur.
a. Nur tidak ada di rumah.
80. Dian
menemukan Nur di halte.
a. Nur malah lari.
b. Dian mengejarnya.
c. Nur tampak marah-marah.
d. Nur menyuruh Dian pergi.
e. Dian mencoba mendinginkan suasana.
f. Nur terhanyut olehnya.
g. Dian memeluknya.
81. Dian
mengajak Nur dan Marisa mendatangi rumah Pak Andre.
a. Pak Andre member masukan pada Nur dan
Marisa.
b. Nur terlihat lebih bersemangat lagi.
82. Dian
berduaan dengan Nur di tangga.
a. Dian mencoba member semangat pada Nur.
b. Dian mengembalikan buku Grand Vision
milik Nur yang ia temukan.
c. Nur mencium pipi Dian berulang kali.
83. Nur
melakukan presentasi kembali.
a.
Jaringan Nur bertambah luas.
84. Acara
tahunan penerimaan reward tiba.
a. Satu per satu nama penerima reward di
panggil.
b. Nama Nur di panggil terakhir.
c. Nur muncul ke panggung.
d. Nur diminta memberikan sedikit pidato
untuk membakar semangat para hadirin.
85.
Nur membawa ibunya ke istana megah rumah barunya.
a. Ibunya tampak kaget.
b. Nur membawa masuk ibunya bersama
dengan Dian.
[1] Transformasi adalah perubahan satu genre sastra ke bentuk-bentuk lain,
seperti bentuk puisi ke prosa atau sebaliknya, terjemahan, saduran, paraphrase,
edisi baru (cetak ulang), dan lain sebagainya. Untuk selanjutnya, istilah
transformasi ini diganti dengan adaptasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar