Rabu, 01 Januari 2014

Cap Novel bacaan Liar oleh Balai Pustaka



Telaah atas Hikayat Kadiroen dan Student hidjo
 
Abstrak
          Karya sastra di indonesia mulai tahun 1920 – 1950 dipelopori oleh penerbit balai pustaka. Yaitu novel-novel yang di terbitkan, sastrawan dan karyanya diterbitkan oleh balai pustaka, kemudian digolongkan ke dalam angkatan balai pustaka. Karya-karya yang diterbitkan haruslah haruslah sesuai dengan aturan-aturan Balai Pustaka yang tertera dalam Nota De Volkslektuur tahun 1991 (sesuai dengan Nota rinkes) yang telah ditetapkan oleh belanda. Jika naskah yang akan diterbitkan oleh balai pustaka ternyata isinya menjatuhkan wibawa pemerintah kolonial, maka karya tersebut tidak di terbitkan dan pemerintah mencapnya sebagai bacaan liar. Bacaan liar yang dimaksud adalah buku-buku bacaan yang mempunyai corak realisme-sosialis yang diterbitkan bukan oleh Balai pustaka. Beberapa dari karya sastra yang dicap sebagai bacaan liar pada masa itu adalah novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen dan Student Hidjo karya Marco Kartodikromo, serta masih banyak lagi bacaan-bacaan liar yang lain. Dari sedikit deskripsi tentang kedua novel tersebut adalah sama, yaitu memuat gagasan politik yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintahan kolonial pada waktu itu. Di samping itu, penilaian pihak Balai Pustaka terhadap novel yang akan diterbitkan adalah :
1.      netral terhadap agama,
2.      tidak mengandung politik yang mana bertentangan dengan pemerintah,
3.      tidak bersifat cabul,
4.      dan harus ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi.
Dari hal ini, jelas Balai Pustaka mencap-nya sebagai bacaan liar.

         Istilah bacaan liar datangnya dari pihak penerbit pemerintah, dalam hal ini Balai Pustaka maka kriteria Balai pustaka dijadikan dasar dalam menelaah kedua novel tersebut di atas. Telaah tersebut menunjukkan bahwa cap bacaan liar semata-mata datang dari kriteria yang ditetapkan oleh Balai Pustaka sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda. Beberapa hal yang direpresentasikan dalam novel tersebut seperti kritikan terhadap pemerintah kolonial belanda dan ideologi komunis (marxsisme).

         Student Hidjo dan Hikayat Kadiroen adalah bagian dari babak yang unik dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia. Meskipun karya sastra tetap karya fiksi, tetapi isinya merupakan gambaran sosial masyarakat pada saat karya tersebut diciptakan dan tidak selayaknya dipinggirkan serta tidak pernah disinggung dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.
Latar Belakang
         Sebelum Balai Pustaka berdiri, sudah ada penerbit-penerbit yang dikelola oleh perkumpulan-perkumpulan yang bersifat oposisi mengeluarkan buku-buku bacaan. Penerbitan tersebut dilakukan oleh bangsa Tionghoa dan Indonesia (pribumi). Cerita-cerita yang diterbitkan ditulis dalam bahasa Melayu Rendah atau Melayu Pasar. Umumnya berisi cerita-cerita penjahat, cabul, dan sebagainya. Buku-buku bacaan yang di terbitkan tersebut di atas dianggap merusak pembacanya.

        Bacaan liar (novel) yang dimaksud tersebut mempunyai corak realisme-sosialis dan ditulis oleh pengarang yang mempunyai kecenderungan condong ke ideologi sosialis. Kalau tidak komunis, Kebanyakan pengarang-pengarang tersebut juga aktivis dalam gerakan-gerakan kebangsaan yang tumbuh menjamur ketika itu. Tentu saja hal tersebut tidak dikehendaki oleh Pemerintah Kolonial. Pengarang tersebut akan mensosialisasikan ideologi Nasionalisme yang memang dilarang pada saat itu. Apabila terjadi, hal ini  akan membahayakan kedudukan pemerintah Kolonial pada waktu itu.

       Bacaan liar dalam pandangan perintah kolonial dianggap tidak sesuai untuk perkembangan kebudayaan masyarakat jajahan baik dari segi isi maupun bahasa. Bacaan liar yang dimaksud diterbitkan bukan oleh Balai pustaka. Karena balai pustaka sebagai penerbit yang dikelola oleh Pemerintah kolonial dan menetapkan aturan-aturan yang banyak memuat kepentingan politik Pemerintah Kolonial Hindia belanda. Sifat-sifat dan isi karangannya banyak menghasut rakyat untuk berontak. Sebagai contoh Mas Marco Kartodikromo telah berkali-kali dijatuhi hukuman oleh pemerintah Belanda karena tulisan-tulisannya. Selain itu, bacaan yang menggunakan bahasa Melayu Pasar ( melayu gado-gado ) dan berbau pornografi juga dikategorikan sebagai bacaan liar.

       Dari kategori inilah, novel yang ditulis oleh kaum pergerakan ditempatkan oleh pemerintah kolonial. Salah satunya adalah Semaoen yang mendapat teguran keras dari pemerintah kolonial dan akhirnya dibuang ke Digul pada tahun 1923 karena menulis Hikayat Kadiroen. Novel tersebut dianggap membangkitkan kesadaran masyarakat jajahan untuk berorganisasi atau membentuk kelompok politik yang memang marak saat itu, dan masih banyak lagi karya lain yang mendapat cap sebagai bacaan liar dan dilarang oleh pemerintah kolonial.

        Atas dasar alasan tersebut, pemerintah kolonial memutuskan untuk membendung bahkan menyetop peredaran bacaan liar yang dianggap telah meracuni masyarakat. Sebagai antisipasi terhadap perkembangan bacaan liar, maka pada tahun 1908, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Commisie voor de Inlandsche School en Volkslektuur (Komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat). Tugas komisi ini adalah mengumpulkan cerita rakyat yang terkenal untuk ditulis kembali, sedangkan cerita yang terlalu banyak unsur takhayulnya dikesampingkan. Selain itu juga mencetak buku-buku saduran dari cerita-cerita Eropa klasik. Dan dalam waktu singkat tugas komisi tersebut berkembang dengan pesat, sehingga diperlukan kantor tersendiri untuk menampung kegiatannya. Untuk itu didirikan Kantoor voor de Volkslectuur yang diberi nama Balai Pustaka.

        Penyediaan buku bacaan oleh Balai Pustaka, baik berupa cerita rakyat maupun saduran cerita eropa klasik, ternyata kurang memenuhi keperluan akan bahan bacaan yang baik dan murah bagi pembaca pribumi yang mulai bertambah jumlahnya. Bertolak dari kenyataan itu, Balai Pustaka kemudian mulai membuka kesempatan kepada pengarang pribumi untuk menerbitkan naskah karangan.

        Dalam rangka penerbitannya, Balai Pustaka mempunyai ukuran-ukuran tertentu, sesuai dengan keadaan yang terdapat di tanah jajahan. Balai Pustaka tersebut mengambil sikap yang amat netral. Dalam persoalan-persoalan agama (buku-buku yang mengandung unsur keagamaan tidak akan diterima untuk diterbitkan), pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah juga tidak dapat diterima, demikian juga karya sastra yang bersifat cabul seperti yang telah diuraikan di atas.

        Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dengan tegas dinyatakan dalam Nota Rinkes. Nota Rinkes menjadi kebijakan dasar dari Balai Pustaka dalam menerbitkan buku-buku bacaan untuk rakyat pribumi. Dengan garis kebijakan dari suatu pemerintahan jajahan seperti itu, amat sukar mengharapkan produk-produk bacaan yang menjadi juru bicara zaman. Garis kebijakan Balai Pustaka yang ditegaskan oleh Rinkes ini pada satu pihak ditujukan untuk membendung bacaan-bacaan politik produk para pemimpin pergerakan seperti Mas Marco Kartodikromo dengan Student Hidjo yang pertama kali terbit melalui Harian Sinar Hindia, Serta Semaoen dengan Hikayat Kadiroen-nya yang pertama kali terbit di Sinar Hindia tahun 1920, dan diterbitkan kembali menjadi buku kecil oleh Drukkerij VSTP tahun 1921.

        Dengan adanya Nota Rinkes, terdapat pembatasan karya sastra yang boleh dibaca oleh khalayak pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Seperti contoh pada kedua novel pemberontak tersebut, yang mengajak berpikir dan dianggap menghasut pembacanya untuk melawan serta melepaskan diri dari penjajahan.

        Berkaitan dengan itu, dalam tulisan ini akan dibahas cap bacaan liar pada novel pemberontak tersebut dengan melakukan telaah terhadap Student Hijdo karya Mas Marco Kartodikromo dan Hikayat Kadiroen karya Semaoen. Karena istilah bacaan liar datang dari pihak penerbit pemerintah, dalam hal ini Balai Pustaka, maka kriteria Balai Pustaka dijadikan dasar dalam menentukan cap bacaan liar pada kedua novel tersebut. 
   
Pembahasan
1.Student Hidjo
            Student Hidjo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini diterbitkan kembali dengan dua versipada tahun 2000, oleh Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya penerbit dari Yogya.

           Novel ini berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.

            Marco secara lugas juga menunjukkan keberpihakannya kepada kaum bumiputra. Ia menggunakan tokoh Controleur Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik ketidakadilan kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia. Mas Marco Kartodikromo ini adalah pengarang yang pertama kali melancarkan kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme atas dasar
perjuangan kelas. Karyanya yang utama adalah novel Student Hidjo. Novel-novel yang ditulis Masa Marco berbau politik. Ketika masih aktif di Sarekat Islam ia menulis Student Hidjo, dimana teori perjuangan Marx mendasari penciptaannya.

           Student Hidjo merupakan bacaan politik yang mengajak berfikir dan serta memberi pengetahuan kepada pembacanya tentang kontradiksi - kontradiksi kolonial kepada para pembacanya. Novel ini menggambarkan kehidupan kaum priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti kemudahan menimba pendidikan. Suasana masa-masa pergerakan, terutama Sarekat Islam, yang merupakan organisasi masyarakat yang sangat populer.

           Student Hidjo melambangkan modernitas kaum muda pada masapemerintah kolonial Belanda. Dalam novel tersebut digambarkan dua kaum muda, Raden Hidjo lulusan HBS dan tunangannya Biroe. Modernitas dan nilai-nilai tradisional mengalami perubahan, tetapi digambarkan sejajar. Selain itu, perjuangan dan idealisme organisasi Sarekat Islam yang dipimpin oleh Mas Marco tampak dalam novelnya Student Hidjo.

          Student Hidjo berisi pandangan dan kritik terhadap kondisi masyarakat kolonial yang mengisahkan gaya hidup seorang pemuda bumiputera, Raden Hidjo, yang berpendidikan di Hogere Burger School (HBS) yang kemudian meneruskan pendidikan di negeri Belanda. Karena pendidikan Barat itu, Raden Hidjo bergaya hidup modern seperti berbicara dengan bahasa Belanda, berpakaian ala Barat, mengunjungi rumah makan, menonton film, minum limun, menikmati musik, seperti dilakukan oleh orang-orang Eropa.

          Tokoh utama novel ini adalah Hidjo. Oleh pengarang ia digambarkan sebagai "seorang anak moeda jang soeka sekali beladjar; djoega dia seorang jang tidak banjak bitjara dan kesenangan seperti anak moeda kebanjakan. Ia anak seorang saudagar kaya. Ayahnya menginginkan Hidjo melanjutkan sekolahnya seperti anak-anak pangeran dan anak-anak bupati. Saudagar atau pedagang pada masa itu masih dipandang  rendah oleh para pegawai pemerintahan. Raden Potronojo mengatakan pada istrinya seperti tampak pada kutipan berikut :

         Saja ini seorang soedagar sadja, kamoe tahoe sendiri, ini waktoe orang seperti saja misih dipandang rendah oleh orang-orang jang djadi penggawainja Gouvernement, kadang-kadang kita poenja sanak sendiri jang sama toeroet Gouvernement dia tidak soeka koempoel dengan kita, sebab pikirannja dia orang ada lebih tinggi deradjatnja dari pada kita orang jang sama djadi soedagar atau tani. Maksoed saja boeat mengirimkan Hidjo kenegeri Belanda itoe tidak lain soepaja orang-orang jang merendahkan kita orang ini bisa mengerti, bahwa manoesia itoe sama sadja. tandanja anak kita bisa beladjar djuga seperti anaknja Regent-regent dan pangeran-pangeran.

          Ayah Hidjo, Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah kolonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan" bebas.

          Pendidikan di Belanda ternyata membuka mata dan pikiran yang sangat besar bagi Hidjo. Hidjo sang kutu buku yang terkenal "dingin" dan mendapat julukan "pendito" sampai onzijdig, banci, akhirnya pun terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje, putri directeur salah satu maatschapij yang rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda. Pertentangan batin karena melakukan aib dan panggilan pulang ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk memutuskan tali cinta pada Betje.

          Persoalan menjadi sedikit berliku ketika perjodohan dengan Raden Adjeng Biroe yang masih sanak keluarga, meskipun sesungguhnya Hidjo terpikat dengan Raden Adjeng Woengoe, putri Regent Jarak yang cantik. Di akhir cerita, ketegangan mendapat penyelesaian. Kebebasan memilih dan bercinta diangkat ketika Hidjo tidak langsung setuju pada pilihan orangtuanya akan tetapi mencari idamannya.

          Rumus perjodohan berubah. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe. Semua, baik yang menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia. Betapa cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara. Juga ditampilkan, bahwa mentalitas Nyai tidak selalu ada dalam diri inlander, yaitu ketika Woengoe menolak cinta Controleur Walter.

          Selain itu, pengalaman Hidjo di Negeri Belanda telah membuka matanya. Ia melihat bahwa di negerinya sendiri bangsa Belanda ternyata tidak "setinggi" yang ia bayangkan. Hidjo menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di rumah tumpangan yang mustahil dilakukan di Hindia seperti kutipan di bawah ini :

          Waktoe itoe Hidjo toeroen dari kapal, dipelaboehan soedah berdesak-desakan orang-orang jang sama meraetoek sanak familienja jang datang dengan kapal Goerioeng. Keadaan itoelah soenggoeh loear biasa bagi Hidjo, boekan loear biasa kebagoesan pakaian orang-orang jang ada disitoe, tetapi loear biasa sebab itoe waktoe Hidjo bisa maemerentah orang-orang Belanda, orang mana kalau di tanah Hindia kebanjakan sama besar kepala.

           Dari peristiwa yang dialaminya Hidjo mengetahui bahwa tidak semua bangsa Belanda mempunyai sifat ingin memerintah. Ada juga bangsa Belanda yang dapat diperintah. Hidjo pun akhirnya berkesimpulan "kalau negeri Belanda dan orangnja itoe tjoema begini sadja keadaannja betoel tidak seharoesnja kita orang Hindia mesti diperentah oleh orang Belanda" (hlm. 39). Keinginan untuk melepaskan dari penindasan, tuntutan persamaan hak antara bangsa Bumiputra dan bangsa Belanda, mendasari penulisan novel ini. Ketika Walter menginginkan Woengoe menjadi istrinya, dia mengajukan pertanyaan pada bupati Djarak mengenai percampuran bangsa asing, dalam hal ini percampuran berupa perkawinan. Dalam menjawab pertanyaan itu bupati Djarak berkata:

          "Ach, perkara itoe toean," mendjawab Regent dengan merdika, "itoelah hanja tergantoeng orang jang mendjalani itoe assosiatie. Kalau boeat saja itoe perkara tjotjok sekali, karena sesoenggoehnja manoesia tidak ada bedanja, baik bangsa Boemi-poetra atau bangsa Belanda .. . bertjampoeran bangsa itoe bisa djadi baik, kalau bangsa satoe dan lainnja sama deradjatnja, sama kekoeatannja; sama kepertjajaannja... (hlm.85)

          Persamaan derajat, kekuatan serta kepercayaan yang diharapkan oleh bupati ini tidak akan terwujud selama bangsa Belanda menganggap rendah bangsa Bumiputra. Dengan syarat yang diberikan oleh bupati kepada Walter--yang tentu saja tak dapat dipenuti oleh Walter--maka berarti lamarannya ditolak. Apa yang direpresentasikan mas Marco dalam Student Hidjo menunjukkan gagasan pengarang untuk menyadarkan masyarakat (terutama kaum kromo) untuk berjuang melepaskan dari penindasan, melalui pergerakan politik agar persamaan hak antara bangsa Bumiputra dan bangsa Belanda dapat diwujudkan.

Hikajat Kadiroen
           Hikayat Kadiroen ditulis oleh Semaoen. Ia tercatat sebagai pengarang yang banyak memasukkan gagasan komunis dalam karyanya. Hikayat Kadiroen diterbitkan tahun 1920 sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Sinar Hindia dan diterbitkan sebagai buku oleh kantor PKI Semarang. Novel ini ditulis untuk melawan rezim Belanda dan disita setelah tahun 1926/1927 karena buku tersebut dianggap sebagai kesusastraan bawah tanah.

           Semaoen juga seorang yang aktif berkarya. Kebanyakan karyanya ditulis di dalam surat kabar beraliran kiri. Pemikiran Semaoen dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni oleh Snevliet dan agama Islam walau sempat dalam karyanya ia memprotes pemikiran pribumi yang terlalu percaya akan kegaiban yang akan mengatur dan menyelamatkan mereka. Hikayat Kadiroen menceritakan seorang priyayi Marxsis yang sangat peduli kepada rakyatnya dan berjuang bersama dalam pergerakan. Dalam pergerakan, ia menerima paham Marx tentang protes sosial kepada pemerintahan Hindia Belanda. Ia menganggap bahwa pemerintah telah membiarkan warga pribumi terjatuh dalam kemiskinan karena usaha kapitalisasi di Indonesia terutama di Jawa. Ia berharap bahwa suatu hari nanti akan ada suatu keadaan mirip dengan Jawa Kuno yang membiarkan warganya hidup dengan apa yang ia inginkan. Dan hal itu hanya akan terjadi jika pemerintahan Sovyet hadir di antara mereka.

           Hikayat Kadiroen "....ditinjau dari kesusastraan semata-mata buku itu amat lemah." Lebih lanjut bahasa yang digunakan oleh Hikayat Kadiroen adalah bahasa pra-Balai Pustaka, yang amat kacau ejaan serta tatabahasanya dan penuh dengan bahasa percakapan sehari-hari, bahasa Melayu Pasar, bahasa Jawa dan bahasa Belanda.

           Hikayat Kadiroen termasuk literatuur socialisme yang otomatis dianggap sebagai "bacaan liar" oleh pemerintah kolonial. Pemikiran reaksioner dari Rinkes tentang literatuur socialisme yang melihat rakyat bumiputra "...harus dijauhkan dari segala yang dapat merusak kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri", di mana "literatuur socialistisch" termasuk di dalamnya.

           Ringkasnya Hikajat Kadiroen menceritakan tokoh Kadiroen, seorang pemuda yang amat cerdas. Ia anak seorang lurah yang terkenal bijaksana. Kebijaksanaan ini menurun padanya. Sebagai pegawai negeri pada pemerintah kolonial, Kadiroen mendapat kenaikan pangkat yang relatif cepat. Cita-cita untuk memperbaiki nasib rakyatnya menemui jalan buntu karena usahanya mendapat halangan, baik dari rakyatnya sendiri maupun darl atasannya. Pada waktu kekecewaan melanda dirinya dia berhubungan dengan tokoh-tokoh Partai Komunis dan tertarik pada ajaran serta cita-cita partai yang baru muncul di tanah Hindia ini. Untuk beberapa lamanya dia menjadi penyokong Partai Komunis, baik dari segi moril maupun materiil. Bantuan ini dilakukannya secara rahasia. Pekerjaan Kadiroen akhirnya diketahui oleh atasannya. Dia harus memilih antara pekerjaan atau partainya. Akhirnya dia memilih meletakkan jabatan karena dia berkeyakinan, bahwa dengan kegiatan politik dia dapat memperjuangkan cita-citanya, yaitu kebahagiaan rakyat.

           Kadiroen diciptakan pengarang sebagai tokoh idaman yang akan menyampaikan gagasan pengarang. Kadiroen digambarkan sebagai pemuda yang pandai, baik ketika ia masih bersekolah maupun ketika ia sudah bekerja sebagai pegawai negeri pada pemerintah kolonial. Kepandaian ini terbukti dari banyaknya jabatan yang sudah dipegangnya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Bermula dari juru tulis (hlm. 10), kemudian menjadi manteri polisi. Pangkat asisten wedana disandangnya ketika ia dapat menyelesaikan masalah pencurian di desa Wonokojo. Kadiroen menjadi asisten wedana di daerah Gunung Aju (hlm. 34). Beberapa tahun kemudian dia menjadi wedana di daerah Redjo (hlm. 58). Hanya tiga tahun dia menjadi wedana di sana karena dia lalu diangkat sebagai wakil patih di kota S (hlm. 83).

           Kadiroen mempunyai arti tersendiri, yaitu terkenal baik. Pengarang mempunyai maksud tertentu dalam pemberian nama-nama pada tokoh ciptaannya. Nama tersebut melambangkan sifat dari tokohnya. Kadiroen mewarisi kepandaian ayahnya, Diceritakan bahwa ayahnya adalah seorang dari golongan bawah yang dapat menjadi lurah (hlm. 11). Pengarang novel ini lebih menekankan keunggulan golongan bawah. Tokoh ini hidup dalam lingkungan yang korup. la dapat merasakan adanya sesuatu yang salah dalam kehidupan masyarakat desanya. Keinginan memperbaiki kehidupan rakyatnya membawa dia pada keputusan untuk pergi mengembara. Motif pengembaraan menjadi ciri cerita-cerita Panji Jawa. Dalam Hikajat Kadiroen motif ini dimasukkan oleh pengarangnya. Pengembaraan yang dilakukan sebenarnya adalah semacam ujian atau inisiasi yang mematangkan jiwa pemuda-pemudi, sehingga mereka jadi dewasa. Perkawinan yang pada akhir cerita dilangsungkan adalah penyempurnaan dari upacara inisiasi ini. Cerita dengan motif pengembaraan biasanya diakhiri dengan perkawinan antara tokoh-tokoh cerita. Dalam cerita ini Kadiroen dipertemukan dengan Ardinah, seorang wanita yang pernah ditolongnya.

           Diceritakan dalam novel ini bahwa Kadiroen meninggalkan pekerjaan dan aktif dalam kegiatan politik. Dari perkumpulan politik, dia mendapatkan pelajaran yang berharga dan dia juga mendapat pengetahuan tentang kehidupan sosial suatu masyarakat. Ujian berat yang ditempuh Kadiroen ialah ketika dia harus memilih antara hidup berkecukupan serta terpandang sebagai pegawai pemerintah atau hidup berkekurangan meninggalkan pekerjaannya dan membantu pergerakan politik (hlm. 123).

            Sebagai seorang bumiputra sebenarnya Kadiroen tidak dapat bersekolah pada sekolah Belanda. Karena dia sudah diambil "anak mas" oleh atasan ayahnya, maka dia dapat belajar pada sekolah 0.S.V.I.A. (hlm. 10). Teman satu sekolahnya, kelak menjadi atasannya, yaitu asisten wedana Semongan yang mempunyai sifat berlawanan Kadiroen. Digambarkan oleh pengarang sebagai berikut. Begitoelah doea orang jang satoe sama lain berlainan sebagai siang dan malam mesti bekerdja ber-sama2, jang baik mendjadi Menteripolitie jang terperentah, dan jang boesoek mendjadi Aesistent wedono, jang memerentah (hlm. 12).

            Nama asisten wedana itu adalah Raden Pandji Koentjoro-Noto-Prodjo-Ningrat. (Raden sebutan bagi orang keturunan bangsawan). Seperti Pandji (pangeran), Koentjoro (terkenal di mana- mana), Noto ( mengatur),Prodjo (derajat, pangkat, terpandang), dan Ningrat ( kaum bangsawan). Dari namanya dapat diketahui bahwa tokoh ini adalah orang yang suka memerintah. Gelar kebangsawanan membawa tokoh ini kepada jenjang kepemimpinan. Sifat kesewenang-wenangan terhadap yang lebih rendah dipertentangkan dengan sifat menjilat pada atasan. Tokoh ini menjadi lambang golongan atas yang tidak mempunyai kemampuan memimpin. Kebodohannya sudah terbukti sejak masih bersekolah. Dia tidak disukai, baik oleh gurunya maupun oleh teman temannya (hlm. 12).

           Penggambaran watak yang berbeda antara Kadiroen dan Raden Pandji ini tentu saja mempunyai maksud tertentu. Golongan yang berkuasa belum tentu lahir dari manusia yang memiliki kepandaian, sedangkan orang yang memiliki kepandaian belum tentu dapat menjadi orang yang berkuasa. Seperti sudah diuraikan di atas, kedua tokoh ini mendapat pendidikan Belanda, sebuah pendidikan yang mahal dan hanya dapat diikuti oleh anak bangsawan saja, sedangkan Kadiroen merupakan perkecualian. Pendidikan cara Belanda dianggap menghasilkan pemuda-pemuda yang sempurna tanpa cacat.

           Uraian di atas menunjukkan pengarang berusaha melakukan dekonstruksi. Raden Pandji dijadikan contoh dari pendidikan yang gagal. Pengarang lebih menekankan keberhasilan golongan bawah dalam menuntut ilmu. Dalam novel tersebut ada penggambaran tokoh hitam dan putih. Para tokoh hitam dalam novel ini biasanya tidak berpendidikan tinggi atau kalau mereka mendapatkan pendidikan juga, biasanya tidak menggunakan ilmunya dengan baik. Raden Pandji sebagai seorang berpendidikan, dalam kehidupan sehari-harinya tidak memperlihatkan ketinggian akhlak. Seperti misalnya ketika mendapat laporan peristiwa pencurian. Laporan pertama dari tuan Zoetsuiker (seorang penguasa perkebunan tebu) dan laporan kedua datang dari seorang rakyat biasa bernama Soeket. Soeket atau rumput adalah jenis tumbuhan yang berada di bawah dan dapat dinjak-injak. Jadi nama Soeket dapat melambangkan manusia yang hidupnya selalu diinjak-injak. Tuan Zoetsuiker mendapat pelayanan langsung dari dari Raden Pandji, sedangkan Soeket mendapat pelayanan dari manteri polisi, dalam hal ini Kadiroen. Untuk menemukan pencuri Raden Pandji menggunakan cara "maling harus ditangkap dengan maling", sedangkan Kadiroen menggunakan cara yang wajar, yaitu dengan jebakan. Dari kedua cara tersebut rupanya cara Kadiroenlah yang berhasil. Dia berhasil menemukan pencuri ayam tuan Zoetsuiker yang tak lain adalah seekor garangan, sedangkan pencuri kerbau milik Soeket adalah para penjudi yang kalah berjudi dan menyikat kerbau Soeket untuk dijual. Setelah peristiwa ini dapat diselesaikan, Kadiroen mendapat hadiah berupa kenaikan pangkat dan Raden Pandji yang gagal menemukan pencuri mendapat teguran dari atasannya (hlm 5-34).

           Novel ini selain berisi idealisme politik komunls juga berisi sentimen agama yang dapat dilihat pada watak-watak tokohnya. Agama dalam novel ini menjadi barang ejekan semata. Ardinah, tokoh yang kemanusiaannya diinjak-injak oleh kekuasaan pangkat dan uang mengatakan :

          0, toeankoe! Apakah sebabnja saja poenja agama Islam memperkenankan orang laki berkawin lebih dari satoe, sedangnja biasanja itoe idinnja agama sering dibikin alasan sewenang-wenang oleh orang laki jang hanja soeka mainan sadja pada kita orang perempoean. Karena itoe, maka saja poenja golongan perempoean sering dapat tjelaka batin...Selamanja orang laki semoea beloem bisa baik dan adil, maka lebih baik kalau agama kita melarang perkawinan lebih dari satoe perempoean (hlm. 51-52).

          Ardinah, seorang wanita miskin, menjadi selir lurah Kromo Kenggolo. Ketika diminta kawin oleh lurah itu, dia belum mengetahui bahwa lurah sudah beristri. Niat menolong kaum wanita keluar dari penjara kaum lelaki, dibuktikan dengan usaha melepaskan diri dari lurah tersebut. Selain itu, Ardinah juga berusaha membantu istri pertama lurah untuk mendapatkan haknya.

          Dalam novel ini persoalan agama jelas ditentang dan tokoh agama menjadi bulan-bulanan.  Dalam usaha meluaskan ideologi komunis, dijalankan aksi-aksi pembasmian keyakinan beragama, atau sekurang-kurangnya soal agama dianggap sebagai soal yang remeh. Tokoh agama dalam novel ini diwakili oleh Kiyai Noeridin. Dalam suatu rapat komunis dia mengatakan bahwa manusia tidak saja harus memperhatikan perkara dunia, tetapi juga memperhatikan perkara batin. Karena bila hanya memperhatikan perkara dunia saja, maka kepercayaan akan agama dan Gusti Allah akan rusak. Jalan untuk memperbaiki akal budi, manusia harus memperhatikan atau memuliakan perkara batin terlebih dahalu (hlm. 116).

          Novel Hikayat Kadiroen ini dapat juga bermanfaat sebagai dokumen politik yang menyajikan beberapa dasar pemikiran komunis. Penyisipan adegan pidato yang dalam hubungannya dengan penyusunan alur sering merupakan lanturan telah mengungkapkan dasar-dasar ajaran komunis.

Kesimpulan
            Novel yang baik menurut Balai Pustaka adalah novel yang berisi pengajaran bagi pembacanya. Di samping itu banyak novel yang terbit tidak berisi pengajaran bagi pembaca dan biasanya novel semacam ini diterbitkan oleh penerbit yang tak bertanggung jawab atau para agitator. Ketiga novel di atas disebut sebagai bacaan liar. Karena istilah bacaan liar datangnya dari pihak penerbit pemerintah, dalam hal ini balai pustaka maka kriteria Balai pustaka dijadikan dasar dalam menentukan sebuah novel termasuk kategori bacaan liar.

Kriteria pertama, bahwa novel yang diterbitkan harus mempunyai sikap netral terhadap persoalan agama.
            Persoalan agama menjadi ejekan dalam Hikayat kadiroen. Tokoh Ardinah mengatakan bahwa dalam agama Islam seorang pria dapat mepunyai isteri lebih dari satu. menurut dia, kalau pria tidak dapat berbuat adil, lebih baik agama melarang perkawinan lebih dari satu. Bagi Ardinah agama tidak dapat dijadikan pegangan dalam hidupnya, dia menjadi korban dari peraturan agamanya itu sendiri. Selain Ardinah, tokoh Tjitro direpresentasikan sebagai tokoh yang menentang dan meremehkan tokoh agama, yang dalam novel ini diwakili oleh tokoh Kiai Noeridin. Jadi Hikayat kadiroen dapat dimasukkan dalam bacaan liar karena isinya mencerminkan penghinaan terhadap agama Islam.

Kriteria kedua, bahwa novel tidak boleh mengandung pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah.
            Student Hidjo merupakan novel yang berisi kritikan terhadap pemerintah Belanda. Dalam novel ini ditunjukkan kebejadan moral dari tokoh-tokh Belanda, seperti Bejte yang hampir merumuskan Hidjo dalam kehidupan yang kurang baik. Sersan Djepris dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh yang tidak berbudi. Dalam Hikayat Kadiroen kritikan disampaikan dengan kesadaran politik yang lebih mendalam terhadap Feodalisme dan Kolonialisme. Tulisan yang didasarkan pada ajaran marx ini menunjukkan pertentangan terhadap kapitalisme.

Kriteria ketiga, bahwa sastra yang bersifat cabul tidak akan diterima dalam rangka penerbitan Balai Pustaka.
Berdasarkan kategori ini Student Hidjo dan Hikayat Kadiroen tidak termasuk sebagai bacaan yang bersifat cabul karena hubungan intim Laki-laki-perempuan digambarkan secara tersirat dan tidak menjadi pokok pembicaraan utama dalam ketiga novel tersebut.

Kriteria keempat, bahwa novel Balai Pustaka harus ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi karena buku-buku Balai Pustaka akan disebarkan ke sekolah-sekolah.
Novel-novel yang diterbitkan oleh penerbit liar tidak begitu memperhatikan soal bahasa. Bahasa Melayu Pasar (Melayu gado-gado) adalah bahasa yang digunakan dalam novel Student Hidjo dan Hikayat Kadiroen. Meskipun pengarang termasuk kaum terpelajar yang aktif dalam pergerakan dan menguasai bahasa Melayu Tinggi, tetapi bahasa yang mereka gunakan dalam novel adalah bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu Pasar yang dipakai oleh pengarang, dalam pemakaiannya pun memang disengaja. Hal ini dilakukan agar tulisannya menjadi hidup dan dapat meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembacanya, sehingga dapat menarik perhatian dan simpati pembaca secara tidak sadar terhadap gagasan dan ideologi yang direpresentasikan dalam novel. Selain itu dengan pemakaian bahasa Melayu Pasar maka novel tersebut dapat menjangkau khalayak seluas-luasnya.

Kriteria kelima, penokohan yang lazim dalam Balai Pustaka adalah hitam-putih.
Terdapat perbedaan penokohan novel Balai Pustaka dengan novel bacaan liar. Misalnya tokoh Belanda dalam bacaan liar dilukiskan berlawanan dengan tokoh Belanda dalam novel Balai Pustaka. Dalam novel tersebut, tokoh Belanda digambarkan sebagai tokoh hitam. Golongan kapitalis ini banyak dimusuhi buruh dan tani serta digambarkan negative, bejat moral, penindas dan penjajah. Sedangkan tokoh putih justru diwakili oleh bumiputera.

        Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga novel tersebut memenuhi kriteria cap sebagai bacaan liar apabila dilihat dari sudut Balai Pustaka, jadi sebuah novel dapat disebut bacaan liar apabila :

(1) memuat gagasan politik tertentu yang bertentang dengan pandangan politik pemerintah yang           berkuasa.
(2) berisi penghinaan terhadap golongan agama tertentu.
(3) memuat adegan-adegan yang melanggar nilai-nilai kesusilaan (cabul).
(4) berisi penghinaan terhadap golongan bangsa tertentu, dan
(5) menggunakan bahasa yang bukan bahasa Melayu Tinggi.

          Di luar Balai Pustaka sebenarnya marak penerbitan novel yang ditulis oleh para pengarang yang sebagian besar juga aktif di pergerakan. Novel yang ditulis para pengarang tersebut berusaha membangkitkan kesadaran masyarakat jajahan (terutama kaum kromo) untuk berorganisasi atau membentuk kelompok politik dan oleh pemerintah kolonial dikhawatirkan dapat memicu pemberontakan.

          Istilah bacaan liar datangnya dari pihak penerbit pemerintah, dalam hal ini Balai Pustaka maka kriteria Balai pustaka dijadikan dasar dalam menelaah kedua novel tersebut di atas. Telaah tersebut menunjukkan bahwa cap bacaan liar semata-mata datang dari kriteria yang ditetapkan oleh Balai Pustaka sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda. Beberapa hal yang direpresentasikan dalam novel tersebut seperti kritikan terhadap pemerintah kolonial belanda dan ideologi komunis (marxsisme).

         Student Hidjo dan Hikayat Kadiroen adalah bagian dari babak yang unik dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia. Meskipun karya sastra tetap karya fiksi, tetapi isinya merupakan gambaran sosial masyarakat pada saat karya tersebut diciptakan dan tidak selayaknya dipinggirkan serta tidak pernah disinggung dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.
         Dengan membahasnya setidaknya menunjukkan eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu Pasar dan diterbitkan di luar Balai Pustaka. Dengan demikian terdapat usaha meluruskan sejarah perkembangan sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Setidaknya mengenalkan novel-novel sebelum Balai Pustaka dalam pembelajaran sastra di sekolah merupakan salah satu alternatif pembelajaran sastra yang mencerahkan.

 Daftar Pustaka

Sumardjo, J. 1992. Lintasan Sastra Modern Indonesia 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

1 komentar:

  1. Tulisan ini dikutip dari artikel yang ditulis tahun 2007, tetapi tidak dicantumkan sumbernya ... sungguh disayangkan, apalagi dimunculkan dalam blog pribadi.

    BalasHapus