Telaah atas Hikayat Kadiroen dan Student
hidjo
Abstrak
Karya sastra di indonesia mulai tahun
1920 – 1950 dipelopori oleh penerbit balai pustaka. Yaitu novel-novel yang di
terbitkan, sastrawan dan karyanya diterbitkan oleh balai pustaka, kemudian
digolongkan ke dalam angkatan balai pustaka. Karya-karya yang
diterbitkan haruslah haruslah sesuai dengan aturan-aturan Balai Pustaka yang
tertera dalam Nota De Volkslektuur tahun 1991 (sesuai dengan Nota rinkes) yang
telah ditetapkan oleh belanda. Jika naskah yang akan diterbitkan oleh balai
pustaka ternyata isinya menjatuhkan wibawa pemerintah kolonial, maka karya
tersebut tidak di terbitkan dan pemerintah mencapnya sebagai bacaan liar. Bacaan
liar yang dimaksud adalah buku-buku bacaan
yang mempunyai corak realisme-sosialis yang diterbitkan bukan oleh Balai
pustaka. Beberapa dari karya sastra yang dicap sebagai bacaan liar pada masa
itu adalah novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen dan Student Hidjo karya Marco
Kartodikromo, serta masih banyak lagi bacaan-bacaan liar yang lain. Dari
sedikit deskripsi tentang kedua novel tersebut adalah sama, yaitu memuat
gagasan politik yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintahan
kolonial pada waktu itu. Di samping itu, penilaian pihak
Balai Pustaka terhadap novel yang akan diterbitkan adalah :
1. netral terhadap
agama,
2. tidak mengandung
politik yang mana bertentangan dengan pemerintah,
3. tidak bersifat
cabul,
4. dan harus ditulis
dalam bahasa Melayu Tinggi.
Dari hal ini, jelas
Balai Pustaka mencap-nya sebagai bacaan liar.
Istilah bacaan
liar datangnya dari pihak penerbit pemerintah, dalam hal ini Balai Pustaka maka
kriteria Balai pustaka dijadikan dasar dalam menelaah kedua novel tersebut di
atas. Telaah tersebut menunjukkan bahwa cap bacaan liar semata-mata datang dari
kriteria yang ditetapkan oleh Balai Pustaka sebagai kepanjangan tangan
pemerintah kolonial Belanda. Beberapa hal yang
direpresentasikan dalam novel tersebut seperti kritikan terhadap pemerintah kolonial belanda dan
ideologi komunis (marxsisme).
Student Hidjo dan Hikayat Kadiroen adalah bagian
dari babak yang unik dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia. Meskipun
karya sastra tetap karya fiksi, tetapi isinya merupakan gambaran sosial
masyarakat pada saat karya tersebut diciptakan dan tidak selayaknya
dipinggirkan serta tidak pernah disinggung dalam pembelajaran sastra di
sekolah-sekolah.
Latar
Belakang
Sebelum Balai Pustaka berdiri, sudah ada
penerbit-penerbit yang dikelola oleh perkumpulan-perkumpulan yang bersifat
oposisi mengeluarkan buku-buku bacaan. Penerbitan tersebut dilakukan oleh
bangsa Tionghoa dan Indonesia (pribumi). Cerita-cerita yang diterbitkan ditulis
dalam bahasa Melayu Rendah atau Melayu Pasar. Umumnya berisi cerita-cerita penjahat,
cabul, dan sebagainya. Buku-buku bacaan yang di terbitkan tersebut di atas dianggap
merusak pembacanya.
Bacaan liar (novel) yang dimaksud tersebut mempunyai corak realisme-sosialis
dan ditulis oleh pengarang yang mempunyai kecenderungan condong ke ideologi
sosialis. Kalau tidak komunis, Kebanyakan pengarang-pengarang tersebut juga
aktivis dalam gerakan-gerakan kebangsaan yang tumbuh menjamur ketika itu. Tentu
saja hal tersebut tidak dikehendaki oleh Pemerintah Kolonial. Pengarang
tersebut akan mensosialisasikan ideologi Nasionalisme yang memang dilarang pada
saat itu. Apabila terjadi, hal ini akan
membahayakan kedudukan pemerintah Kolonial pada waktu itu.
Bacaan
liar dalam pandangan perintah kolonial dianggap tidak sesuai untuk perkembangan
kebudayaan masyarakat jajahan baik dari segi isi maupun bahasa. Bacaan liar yang
dimaksud diterbitkan bukan oleh Balai pustaka. Karena balai pustaka sebagai
penerbit yang dikelola oleh Pemerintah kolonial dan menetapkan aturan-aturan
yang banyak memuat kepentingan politik Pemerintah Kolonial Hindia belanda. Sifat-sifat dan isi karangannya banyak menghasut rakyat
untuk berontak. Sebagai contoh Mas Marco
Kartodikromo telah berkali-kali dijatuhi hukuman oleh pemerintah
Belanda karena
tulisan-tulisannya. Selain itu, bacaan yang menggunakan bahasa Melayu Pasar ( melayu gado-gado ) dan berbau pornografi juga dikategorikan sebagai bacaan liar.
Dari
kategori inilah, novel yang ditulis oleh kaum pergerakan ditempatkan oleh
pemerintah kolonial. Salah satunya adalah Semaoen yang mendapat teguran keras
dari pemerintah kolonial dan akhirnya dibuang ke Digul pada tahun 1923 karena
menulis Hikayat Kadiroen. Novel tersebut dianggap membangkitkan
kesadaran masyarakat jajahan untuk berorganisasi atau membentuk kelompok
politik yang memang marak saat itu, dan masih banyak lagi karya lain yang
mendapat cap sebagai bacaan liar dan dilarang oleh pemerintah kolonial.
Atas dasar alasan tersebut, pemerintah kolonial memutuskan untuk
membendung bahkan menyetop peredaran bacaan liar yang dianggap telah meracuni
masyarakat. Sebagai antisipasi terhadap perkembangan bacaan liar, maka pada
tahun 1908, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Commisie voor de Inlandsche
School en Volkslektuur (Komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan
rakyat). Tugas komisi ini adalah mengumpulkan cerita rakyat yang terkenal untuk
ditulis kembali, sedangkan cerita yang terlalu banyak unsur takhayulnya
dikesampingkan. Selain itu juga mencetak buku-buku saduran dari cerita-cerita
Eropa klasik. Dan dalam waktu singkat tugas komisi tersebut berkembang dengan
pesat, sehingga diperlukan kantor tersendiri untuk menampung
kegiatannya. Untuk itu didirikan Kantoor voor de Volkslectuur yang diberi
nama Balai Pustaka.
Penyediaan buku bacaan oleh Balai Pustaka, baik berupa cerita rakyat
maupun saduran cerita eropa klasik, ternyata kurang memenuhi keperluan akan
bahan bacaan yang baik dan murah bagi pembaca pribumi yang mulai bertambah jumlahnya.
Bertolak dari kenyataan itu, Balai Pustaka kemudian mulai membuka kesempatan
kepada pengarang pribumi untuk menerbitkan naskah karangan.
Dalam rangka penerbitannya, Balai Pustaka mempunyai ukuran-ukuran
tertentu, sesuai dengan keadaan yang terdapat di tanah jajahan. Balai Pustaka tersebut
mengambil sikap yang amat netral. Dalam persoalan-persoalan agama (buku-buku yang
mengandung unsur keagamaan tidak akan diterima untuk diterbitkan), pandangan
politik yang bertentangan dengan pemerintah juga tidak dapat diterima, demikian
juga karya sastra yang bersifat cabul seperti yang telah diuraikan di atas.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dengan tegas dinyatakan dalam
Nota Rinkes. Nota Rinkes menjadi kebijakan dasar dari Balai Pustaka dalam menerbitkan
buku-buku bacaan untuk rakyat pribumi. Dengan garis kebijakan dari suatu pemerintahan jajahan
seperti itu, amat sukar mengharapkan produk-produk bacaan yang menjadi juru
bicara zaman. Garis kebijakan Balai Pustaka yang ditegaskan oleh Rinkes ini
pada satu pihak ditujukan untuk membendung bacaan-bacaan politik produk para
pemimpin pergerakan seperti Mas Marco Kartodikromo dengan Student Hidjo yang
pertama kali terbit melalui Harian Sinar Hindia, Serta Semaoen dengan Hikayat
Kadiroen-nya yang pertama kali terbit di Sinar Hindia tahun 1920, dan
diterbitkan kembali menjadi buku kecil oleh Drukkerij VSTP tahun 1921.
Dengan adanya Nota Rinkes, terdapat pembatasan karya sastra yang boleh
dibaca oleh khalayak pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Seperti contoh
pada kedua novel pemberontak tersebut, yang mengajak berpikir dan dianggap
menghasut pembacanya untuk melawan serta melepaskan diri dari penjajahan.
Berkaitan dengan itu, dalam tulisan ini
akan dibahas cap bacaan liar pada novel pemberontak tersebut dengan melakukan
telaah terhadap Student Hijdo karya Mas Marco Kartodikromo dan Hikayat
Kadiroen karya Semaoen. Karena istilah bacaan liar datang dari pihak
penerbit pemerintah, dalam hal ini Balai Pustaka, maka kriteria Balai Pustaka
dijadikan dasar dalam menentukan cap bacaan liar pada kedua novel tersebut.
Pembahasan
1.Student Hidjo
Student Hidjo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian
Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu
perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini
diterbitkan kembali dengan dua versipada tahun 2000, oleh Aksara Indonesia dan
Bentang, keduanya penerbit dari Yogya.
Novel ini
berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari
kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan
Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh
dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.
Marco secara lugas juga menunjukkan keberpihakannya kepada kaum
bumiputra. Ia menggunakan tokoh Controleur Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang
mengkritik ketidakadilan kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia. Mas Marco Kartodikromo ini adalah pengarang
yang pertama kali melancarkan kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme atas
dasar
perjuangan kelas. Karyanya yang utama adalah novel Student
Hidjo. Novel-novel
yang ditulis Masa Marco berbau politik. Ketika masih aktif di Sarekat Islam ia
menulis Student Hidjo, dimana teori perjuangan Marx mendasari
penciptaannya.
Student Hidjo merupakan bacaan politik yang mengajak berfikir dan serta memberi
pengetahuan kepada pembacanya tentang kontradiksi - kontradiksi kolonial kepada
para pembacanya. Novel ini menggambarkan
kehidupan kaum priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti
kemudahan menimba pendidikan. Suasana masa-masa pergerakan, terutama Sarekat Islam, yang
merupakan organisasi masyarakat yang sangat populer.
Student Hidjo melambangkan modernitas kaum muda pada masapemerintah kolonial
Belanda. Dalam novel tersebut digambarkan dua kaum muda, Raden Hidjo lulusan HBS dan
tunangannya Biroe. Modernitas dan nilai-nilai tradisional mengalami perubahan,
tetapi digambarkan
sejajar. Selain itu, perjuangan dan idealisme organisasi Sarekat Islam yang
dipimpin oleh Mas Marco tampak dalam novelnya Student Hidjo.
Student Hidjo berisi pandangan dan kritik terhadap kondisi masyarakat
kolonial yang mengisahkan gaya hidup seorang pemuda bumiputera, Raden Hidjo,
yang berpendidikan
di Hogere Burger School (HBS) yang kemudian meneruskan pendidikan di
negeri Belanda.
Karena pendidikan Barat itu, Raden Hidjo bergaya hidup modern seperti berbicara
dengan bahasa
Belanda, berpakaian ala Barat, mengunjungi rumah makan, menonton film, minum
limun, menikmati
musik, seperti dilakukan oleh orang-orang Eropa.
Tokoh utama novel ini adalah Hidjo. Oleh pengarang ia digambarkan
sebagai "seorang anak moeda jang soeka sekali beladjar; djoega dia seorang jang tidak
banjak bitjara dan kesenangan seperti anak moeda kebanjakan. Ia anak seorang saudagar kaya. Ayahnya
menginginkan Hidjo melanjutkan sekolahnya seperti anak-anak pangeran dan anak-anak
bupati. Saudagar atau pedagang pada masa itu masih dipandang rendah oleh para pegawai
pemerintahan. Raden Potronojo mengatakan pada istrinya seperti tampak pada
kutipan berikut :
Saja ini seorang soedagar
sadja, kamoe tahoe sendiri, ini waktoe orang seperti saja misih dipandang
rendah oleh orang-orang jang djadi penggawainja Gouvernement, kadang-kadang kita
poenja sanak sendiri jang sama toeroet Gouvernement dia tidak soeka koempoel dengan
kita, sebab pikirannja dia orang ada lebih tinggi deradjatnja dari pada kita orang
jang sama djadi soedagar atau tani. Maksoed saja boeat mengirimkan Hidjo kenegeri Belanda itoe tidak lain
soepaja orang-orang jang merendahkan kita orang ini bisa mengerti, bahwa manoesia itoe
sama sadja. tandanja anak kita bisa beladjar djuga seperti anaknja Regent-regent dan
pangeran-pangeran.
Ayah Hidjo, Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia
bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan
bisa menyamai gaya
hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status
sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah
kolonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang
dinilai sarat "pergaulan" bebas.
Pendidikan di Belanda ternyata membuka mata dan pikiran yang
sangat besar bagi Hidjo. Hidjo sang kutu buku yang terkenal "dingin" dan mendapat
julukan "pendito" sampai onzijdig, banci, akhirnya pun
terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje, putri directeur salah
satu maatschapij yang rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda.
Pertentangan batin karena melakukan aib dan panggilan pulang ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk
memutuskan tali cinta pada Betje.
Persoalan menjadi sedikit berliku ketika perjodohan dengan Raden
Adjeng Biroe yang masih sanak keluarga, meskipun sesungguhnya Hidjo terpikat dengan Raden
Adjeng Woengoe, putri Regent Jarak yang cantik. Di akhir cerita, ketegangan mendapat
penyelesaian. Kebebasan memilih dan bercinta diangkat ketika Hidjo tidak langsung setuju pada pilihan
orangtuanya akan tetapi mencari idamannya.
Rumus perjodohan berubah. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan
Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe. Semua, baik yang
menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia. Betapa cerita perjodohan tidak
selalu berakhir dengan tangis dan sengsara. Juga ditampilkan, bahwa mentalitas Nyai tidak selalu ada
dalam diri inlander, yaitu ketika Woengoe menolak cinta Controleur Walter.
Selain itu, pengalaman Hidjo di Negeri Belanda telah membuka
matanya. Ia melihat bahwa di negerinya sendiri bangsa Belanda ternyata tidak
"setinggi" yang ia bayangkan. Hidjo menikmati sedikit hiburan
murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau
di rumah tumpangan
yang mustahil dilakukan di Hindia seperti kutipan di bawah ini :
Waktoe itoe Hidjo
toeroen dari kapal, dipelaboehan soedah berdesak-desakan orang-orang jang sama meraetoek
sanak familienja jang datang dengan kapal Goerioeng. Keadaan itoelah soenggoeh loear biasa
bagi Hidjo, boekan loear biasa kebagoesan pakaian orang-orang jang ada disitoe, tetapi
loear biasa sebab itoe waktoe Hidjo bisa maemerentah orang-orang Belanda, orang mana
kalau di tanah Hindia kebanjakan sama besar kepala.
Dari peristiwa yang dialaminya Hidjo mengetahui bahwa tidak semua
bangsa Belanda mempunyai sifat ingin memerintah. Ada
juga bangsa Belanda yang dapat diperintah. Hidjo pun akhirnya berkesimpulan
"kalau negeri Belanda dan orangnja itoe tjoema begini sadja keadaannja
betoel tidak seharoesnja kita orang Hindia mesti diperentah oleh orang
Belanda" (hlm. 39). Keinginan untuk melepaskan dari penindasan, tuntutan persamaan hak
antara bangsa Bumiputra dan bangsa Belanda, mendasari penulisan novel ini. Ketika Walter
menginginkan Woengoe menjadi istrinya, dia mengajukan pertanyaan pada bupati Djarak mengenai
percampuran bangsa asing, dalam hal ini percampuran berupa perkawinan. Dalam menjawab pertanyaan itu
bupati Djarak berkata:
"Ach, perkara itoe
toean," mendjawab Regent dengan merdika, "itoelah hanja tergantoeng orang jang mendjalani
itoe assosiatie. Kalau boeat saja itoe perkara tjotjok sekali, karena sesoenggoehnja manoesia
tidak ada bedanja, baik bangsa Boemi-poetra atau bangsa Belanda .. . bertjampoeran
bangsa itoe bisa djadi baik, kalau bangsa satoe dan lainnja sama deradjatnja, sama
kekoeatannja; sama kepertjajaannja... (hlm.85)
Persamaan derajat, kekuatan serta kepercayaan yang diharapkan oleh
bupati ini tidak akan terwujud selama bangsa Belanda menganggap rendah bangsa
Bumiputra. Dengan syarat yang diberikan oleh bupati
kepada Walter--yang tentu saja tak dapat dipenuti oleh Walter--maka berarti
lamarannya ditolak. Apa yang direpresentasikan mas Marco dalam Student
Hidjo menunjukkan gagasan pengarang untuk menyadarkan masyarakat (terutama
kaum kromo) untuk berjuang melepaskan dari penindasan, melalui
pergerakan politik agar persamaan hak antara bangsa Bumiputra dan bangsa
Belanda dapat diwujudkan.
Hikajat Kadiroen
Hikayat Kadiroen ditulis oleh Semaoen. Ia tercatat sebagai pengarang yang banyak
memasukkan gagasan komunis dalam karyanya. Hikayat Kadiroen diterbitkan
tahun 1920 sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Sinar Hindia dan
diterbitkan sebagai buku oleh kantor PKI Semarang.
Novel ini ditulis untuk melawan rezim Belanda dan disita setelah tahun 1926/1927
karena buku tersebut dianggap sebagai kesusastraan bawah tanah.
Semaoen juga seorang yang aktif berkarya. Kebanyakan karyanya
ditulis di dalam surat
kabar beraliran
kiri. Pemikiran Semaoen dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni oleh Snevliet
dan agama Islam walau sempat dalam karyanya ia memprotes pemikiran pribumi yang
terlalu percaya
akan kegaiban yang akan mengatur dan menyelamatkan mereka. Hikayat Kadiroen menceritakan
seorang priyayi Marxsis yang sangat peduli kepada rakyatnya dan berjuang bersama dalam
pergerakan. Dalam pergerakan, ia menerima paham Marx tentang protes sosial kepada pemerintahan
Hindia Belanda. Ia menganggap bahwa pemerintah telah membiarkan warga pribumi terjatuh dalam
kemiskinan karena usaha kapitalisasi di Indonesia terutama di Jawa. Ia berharap bahwa suatu hari nanti akan ada
suatu keadaan mirip dengan Jawa Kuno yang membiarkan warganya hidup dengan apa yang ia
inginkan. Dan hal itu hanya akan terjadi jika pemerintahan Sovyet hadir di antara mereka.
Hikayat Kadiroen "....ditinjau dari kesusastraan semata-mata buku itu amat
lemah." Lebih lanjut bahasa yang digunakan oleh Hikayat Kadiroen adalah bahasa
pra-Balai Pustaka, yang amat kacau ejaan serta tatabahasanya dan penuh dengan bahasa
percakapan sehari-hari, bahasa Melayu Pasar, bahasa Jawa dan bahasa Belanda.
Hikayat Kadiroen termasuk literatuur socialisme yang otomatis dianggap sebagai
"bacaan liar" oleh pemerintah kolonial. Pemikiran reaksioner dari Rinkes tentang literatuur socialisme yang melihat rakyat
bumiputra "...harus dijauhkan dari segala yang dapat
merusak kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri", di mana "literatuur
socialistisch" termasuk di dalamnya.
Ringkasnya Hikajat Kadiroen menceritakan tokoh Kadiroen,
seorang pemuda yang amat cerdas. Ia anak seorang lurah yang terkenal bijaksana. Kebijaksanaan ini
menurun padanya. Sebagai pegawai negeri pada pemerintah kolonial, Kadiroen mendapat kenaikan pangkat yang
relatif cepat. Cita-cita untuk memperbaiki nasib rakyatnya menemui jalan buntu karena usahanya
mendapat halangan, baik dari rakyatnya sendiri maupun darl atasannya. Pada waktu kekecewaan
melanda dirinya dia berhubungan dengan tokoh-tokoh Partai Komunis dan tertarik pada ajaran serta
cita-cita partai yang baru muncul di tanah Hindia ini. Untuk beberapa lamanya dia menjadi penyokong
Partai Komunis, baik dari segi moril maupun materiil. Bantuan ini dilakukannya secara
rahasia. Pekerjaan Kadiroen akhirnya diketahui oleh atasannya.
Dia harus memilih antara pekerjaan atau partainya. Akhirnya dia memilih
meletakkan jabatan karena dia berkeyakinan, bahwa dengan kegiatan politik dia dapat
memperjuangkan cita-citanya, yaitu kebahagiaan rakyat.
Kadiroen diciptakan pengarang sebagai tokoh idaman yang akan
menyampaikan gagasan pengarang. Kadiroen
digambarkan sebagai pemuda yang pandai, baik ketika ia masih bersekolah maupun ketika ia
sudah bekerja sebagai pegawai negeri pada pemerintah kolonial. Kepandaian ini
terbukti dari banyaknya jabatan yang sudah dipegangnya dalam waktu kurang dari
sepuluh tahun. Bermula dari juru tulis (hlm. 10), kemudian menjadi manteri polisi. Pangkat asisten
wedana disandangnya ketika ia dapat menyelesaikan masalah pencurian di desa Wonokojo. Kadiroen menjadi
asisten wedana di daerah Gunung Aju (hlm. 34). Beberapa tahun kemudian dia menjadi wedana
di daerah Redjo (hlm. 58). Hanya tiga tahun dia menjadi wedana di sana karena dia lalu diangkat sebagai wakil
patih di kota S
(hlm. 83).
Kadiroen mempunyai arti tersendiri, yaitu terkenal baik. Pengarang
mempunyai maksud tertentu dalam pemberian nama-nama pada tokoh ciptaannya. Nama tersebut
melambangkan sifat dari tokohnya. Kadiroen mewarisi kepandaian ayahnya, Diceritakan bahwa ayahnya
adalah seorang dari golongan bawah yang dapat menjadi lurah (hlm. 11). Pengarang novel ini lebih
menekankan keunggulan golongan bawah. Tokoh ini hidup dalam lingkungan yang korup. la dapat merasakan
adanya sesuatu yang salah dalam kehidupan masyarakat desanya. Keinginan memperbaiki kehidupan
rakyatnya membawa dia pada keputusan untuk pergi mengembara. Motif pengembaraan menjadi ciri
cerita-cerita Panji Jawa. Dalam Hikajat Kadiroen motif ini dimasukkan
oleh pengarangnya. Pengembaraan yang dilakukan sebenarnya adalah semacam ujian atau
inisiasi yang mematangkan jiwa pemuda-pemudi, sehingga mereka jadi dewasa. Perkawinan yang pada
akhir cerita dilangsungkan adalah penyempurnaan dari upacara inisiasi ini. Cerita dengan motif
pengembaraan biasanya diakhiri dengan perkawinan antara tokoh-tokoh cerita. Dalam cerita ini Kadiroen
dipertemukan dengan Ardinah, seorang wanita yang pernah ditolongnya.
Diceritakan dalam novel ini bahwa Kadiroen meninggalkan pekerjaan
dan aktif dalam kegiatan politik. Dari perkumpulan politik, dia mendapatkan pelajaran yang
berharga dan dia juga mendapat pengetahuan tentang kehidupan sosial suatu masyarakat. Ujian berat
yang ditempuh Kadiroen ialah ketika dia harus memilih antara hidup berkecukupan serta terpandang
sebagai pegawai pemerintah atau hidup berkekurangan meninggalkan pekerjaannya dan membantu pergerakan
politik (hlm. 123).
Sebagai seorang bumiputra sebenarnya Kadiroen tidak dapat
bersekolah pada sekolah Belanda. Karena dia sudah diambil "anak mas" oleh atasan ayahnya,
maka dia dapat belajar pada sekolah 0.S.V.I.A. (hlm. 10). Teman satu sekolahnya, kelak menjadi
atasannya, yaitu asisten wedana Semongan yang mempunyai sifat berlawanan Kadiroen. Digambarkan oleh
pengarang sebagai berikut. Begitoelah doea orang jang satoe sama lain berlainan sebagai siang
dan malam mesti bekerdja ber-sama2, jang baik mendjadi Menteripolitie jang
terperentah, dan jang boesoek mendjadi Aesistent wedono, jang memerentah (hlm. 12).
Nama asisten wedana itu adalah Raden Pandji Koentjoro-Noto-Prodjo-Ningrat.
(Raden sebutan bagi orang keturunan bangsawan). Seperti Pandji (pangeran),
Koentjoro (terkenal di mana- mana), Noto ( mengatur),Prodjo (derajat, pangkat, terpandang), dan Ningrat ( kaum
bangsawan). Dari namanya dapat diketahui bahwa tokoh ini adalah orang yang
suka memerintah. Gelar kebangsawanan membawa tokoh ini kepada jenjang kepemimpinan.
Sifat kesewenang-wenangan terhadap yang lebih rendah dipertentangkan dengan sifat menjilat
pada atasan. Tokoh ini menjadi lambang golongan atas yang tidak mempunyai kemampuan memimpin.
Kebodohannya sudah terbukti sejak masih bersekolah. Dia tidak disukai, baik oleh
gurunya maupun oleh
teman temannya
(hlm. 12).
Penggambaran watak yang berbeda antara Kadiroen dan Raden Pandji
ini tentu saja mempunyai maksud tertentu. Golongan yang berkuasa belum tentu lahir dari
manusia yang memiliki kepandaian, sedangkan orang yang memiliki kepandaian belum tentu dapat menjadi
orang yang berkuasa. Seperti sudah diuraikan di atas, kedua tokoh ini mendapat pendidikan Belanda, sebuah
pendidikan yang mahal
dan hanya dapat diikuti oleh anak bangsawan saja, sedangkan Kadiroen
merupakan perkecualian. Pendidikan cara Belanda dianggap menghasilkan pemuda-pemuda yang
sempurna tanpa cacat.
Uraian di atas menunjukkan pengarang berusaha melakukan
dekonstruksi. Raden Pandji dijadikan contoh dari pendidikan yang gagal. Pengarang lebih menekankan
keberhasilan golongan bawah dalam menuntut ilmu. Dalam novel tersebut ada penggambaran tokoh hitam
dan putih. Para tokoh hitam dalam novel ini
biasanya tidak berpendidikan tinggi atau kalau mereka mendapatkan
pendidikan juga, biasanya tidak menggunakan ilmunya dengan baik. Raden Pandji
sebagai seorang
berpendidikan, dalam kehidupan sehari-harinya tidak memperlihatkan ketinggian
akhlak. Seperti misalnya ketika mendapat laporan peristiwa pencurian. Laporan
pertama dari tuan Zoetsuiker (seorang penguasa perkebunan tebu) dan laporan kedua datang dari seorang
rakyat biasa bernama Soeket. Soeket atau rumput adalah jenis tumbuhan yang berada di bawah dan dapat
dinjak-injak. Jadi nama Soeket dapat melambangkan manusia yang hidupnya selalu diinjak-injak. Tuan
Zoetsuiker mendapat pelayanan langsung dari dari Raden Pandji, sedangkan Soeket mendapat
pelayanan dari manteri polisi, dalam hal ini Kadiroen. Untuk menemukan pencuri Raden Pandji menggunakan cara
"maling harus ditangkap dengan maling", sedangkan Kadiroen menggunakan cara yang wajar, yaitu dengan
jebakan. Dari kedua cara tersebut rupanya cara Kadiroenlah yang berhasil. Dia berhasil
menemukan pencuri ayam tuan Zoetsuiker yang tak lain adalah seekor garangan, sedangkan pencuri kerbau
milik Soeket adalah para penjudi yang kalah berjudi dan menyikat kerbau Soeket untuk dijual. Setelah
peristiwa ini dapat diselesaikan, Kadiroen mendapat hadiah berupa kenaikan pangkat dan Raden Pandji yang
gagal menemukan pencuri mendapat teguran dari atasannya (hlm 5-34).
Novel ini selain berisi idealisme politik komunls juga berisi
sentimen agama yang dapat dilihat pada watak-watak tokohnya. Agama dalam novel ini menjadi barang
ejekan semata. Ardinah, tokoh yang kemanusiaannya diinjak-injak oleh kekuasaan pangkat dan uang
mengatakan :
0, toeankoe! Apakah
sebabnja saja poenja agama Islam memperkenankan orang laki berkawin lebih dari
satoe, sedangnja biasanja itoe idinnja agama sering dibikin alasan sewenang-wenang
oleh orang laki jang hanja soeka mainan sadja pada kita orang perempoean.
Karena itoe, maka saja poenja golongan perempoean sering dapat tjelaka batin...Selamanja
orang laki semoea beloem bisa baik dan adil, maka lebih baik kalau agama kita
melarang perkawinan lebih dari satoe perempoean (hlm. 51-52).
Ardinah, seorang wanita miskin, menjadi selir lurah Kromo
Kenggolo. Ketika diminta kawin oleh lurah itu, dia belum mengetahui bahwa lurah sudah beristri. Niat
menolong kaum wanita keluar dari penjara kaum lelaki, dibuktikan dengan usaha melepaskan diri dari
lurah tersebut. Selain itu, Ardinah juga berusaha membantu istri pertama lurah untuk mendapatkan haknya.
Dalam novel ini persoalan agama jelas ditentang dan tokoh agama
menjadi bulan-bulanan. Dalam usaha
meluaskan ideologi komunis, dijalankan aksi-aksi pembasmian keyakinan
beragama, atau sekurang-kurangnya soal agama dianggap sebagai soal yang remeh.
Tokoh agama dalam
novel ini diwakili oleh Kiyai Noeridin. Dalam suatu rapat komunis dia
mengatakan bahwa manusia tidak saja harus memperhatikan perkara dunia, tetapi juga
memperhatikan perkara batin. Karena bila hanya memperhatikan perkara dunia saja, maka kepercayaan akan
agama dan Gusti Allah akan rusak. Jalan untuk memperbaiki akal budi, manusia harus memperhatikan
atau memuliakan perkara batin terlebih dahalu (hlm. 116).
Novel Hikayat Kadiroen ini dapat juga bermanfaat sebagai
dokumen politik yang menyajikan beberapa dasar pemikiran komunis. Penyisipan adegan pidato yang
dalam hubungannya dengan penyusunan alur sering merupakan lanturan telah mengungkapkan
dasar-dasar ajaran komunis.
Kesimpulan
Novel yang baik menurut Balai Pustaka adalah novel yang berisi
pengajaran bagi pembacanya. Di samping itu
banyak novel yang terbit tidak berisi pengajaran bagi pembaca dan biasanya
novel semacam ini diterbitkan oleh penerbit yang tak bertanggung jawab atau para
agitator. Ketiga novel di atas disebut sebagai bacaan liar. Karena istilah bacaan liar datangnya dari
pihak penerbit pemerintah, dalam hal ini balai pustaka maka kriteria Balai pustaka dijadikan dasar dalam
menentukan sebuah novel termasuk kategori bacaan liar.
Kriteria pertama, bahwa novel yang diterbitkan harus mempunyai sikap netral terhadap
persoalan agama.
Persoalan agama menjadi ejekan dalam Hikayat kadiroen. Tokoh
Ardinah mengatakan bahwa dalam agama Islam seorang pria dapat mepunyai isteri lebih dari
satu. menurut dia, kalau pria tidak dapat berbuat
adil, lebih baik agama melarang perkawinan lebih dari satu. Bagi Ardinah agama
tidak dapat dijadikan pegangan dalam hidupnya, dia menjadi korban dari
peraturan agamanya itu sendiri. Selain Ardinah, tokoh Tjitro direpresentasikan sebagai tokoh yang menentang
dan meremehkan tokoh agama, yang dalam novel ini diwakili oleh tokoh Kiai Noeridin. Jadi Hikayat kadiroen dapat
dimasukkan dalam bacaan liar karena isinya mencerminkan penghinaan terhadap
agama Islam.
Kriteria kedua, bahwa novel tidak boleh mengandung pandangan politik yang bertentangan
dengan pemerintah.
Student Hidjo merupakan novel yang berisi kritikan terhadap pemerintah Belanda.
Dalam novel ini ditunjukkan kebejadan moral dari tokoh-tokh Belanda, seperti
Bejte yang hampir merumuskan Hidjo dalam kehidupan yang kurang baik. Sersan Djepris dalam novel
ini digambarkan sebagai tokoh yang tidak berbudi. Dalam Hikayat Kadiroen kritikan
disampaikan dengan kesadaran politik yang lebih mendalam terhadap Feodalisme
dan Kolonialisme. Tulisan yang didasarkan pada ajaran marx ini menunjukkan
pertentangan terhadap kapitalisme.
Kriteria ketiga, bahwa sastra yang bersifat cabul tidak akan diterima dalam rangka penerbitan
Balai Pustaka.
Berdasarkan kategori ini Student Hidjo
dan Hikayat Kadiroen tidak termasuk sebagai bacaan yang bersifat cabul
karena hubungan intim Laki-laki-perempuan digambarkan secara tersirat dan tidak
menjadi pokok pembicaraan utama dalam ketiga novel tersebut.
Kriteria keempat, bahwa novel Balai Pustaka harus ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi karena
buku-buku Balai Pustaka akan disebarkan ke sekolah-sekolah.
Novel-novel yang diterbitkan oleh penerbit liar tidak begitu
memperhatikan soal bahasa. Bahasa Melayu Pasar (Melayu gado-gado) adalah bahasa yang digunakan dalam novel Student Hidjo dan Hikayat
Kadiroen. Meskipun pengarang termasuk kaum terpelajar yang aktif dalam
pergerakan dan menguasai bahasa Melayu Tinggi, tetapi bahasa yang mereka gunakan
dalam novel adalah bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu Pasar yang dipakai oleh pengarang, dalam pemakaiannya pun memang disengaja. Hal ini dilakukan agar tulisannya menjadi hidup dan
dapat meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembacanya, sehingga dapat menarik perhatian
dan simpati pembaca secara tidak sadar terhadap gagasan dan ideologi yang direpresentasikan dalam
novel. Selain itu
dengan pemakaian bahasa Melayu Pasar maka novel tersebut dapat menjangkau khalayak
seluas-luasnya.
Kriteria kelima, penokohan yang lazim dalam Balai Pustaka
adalah hitam-putih.
Terdapat perbedaan penokohan novel Balai Pustaka dengan novel bacaan liar.
Misalnya tokoh Belanda dalam bacaan liar dilukiskan berlawanan dengan tokoh Belanda dalam novel
Balai Pustaka. Dalam novel tersebut, tokoh Belanda digambarkan sebagai
tokoh hitam. Golongan kapitalis ini banyak dimusuhi buruh dan tani
serta digambarkan negative, bejat moral, penindas dan penjajah. Sedangkan tokoh putih justru diwakili
oleh bumiputera.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga novel tersebut
memenuhi kriteria cap sebagai bacaan liar apabila dilihat dari sudut Balai
Pustaka, jadi sebuah novel dapat disebut bacaan liar apabila :
(1) memuat gagasan politik tertentu yang bertentang dengan pandangan politik
pemerintah yang berkuasa.
(2)
berisi penghinaan
terhadap golongan agama tertentu.
(3)
memuat adegan-adegan yang melanggar nilai-nilai kesusilaan (cabul).
(4) berisi penghinaan terhadap golongan
bangsa tertentu, dan
(5) menggunakan bahasa yang bukan bahasa
Melayu Tinggi.
Di
luar Balai Pustaka sebenarnya marak penerbitan novel yang ditulis oleh para pengarang
yang sebagian besar juga aktif di pergerakan. Novel yang ditulis para pengarang
tersebut berusaha membangkitkan kesadaran masyarakat jajahan (terutama kaum
kromo) untuk berorganisasi atau membentuk kelompok politik dan oleh
pemerintah kolonial dikhawatirkan dapat memicu pemberontakan.
Istilah bacaan liar datangnya dari pihak penerbit pemerintah, dalam hal
ini Balai Pustaka maka kriteria Balai pustaka dijadikan dasar dalam menelaah
kedua novel tersebut di atas. Telaah tersebut menunjukkan bahwa cap bacaan liar
semata-mata datang dari kriteria yang ditetapkan oleh Balai Pustaka sebagai
kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda. Beberapa
hal yang direpresentasikan dalam novel tersebut seperti kritikan terhadap pemerintah kolonial belanda dan
ideologi komunis (marxsisme).
Student
Hidjo dan Hikayat
Kadiroen adalah bagian dari babak yang unik dalam sejarah perkembangan
sastra Indonesia. Meskipun karya sastra tetap karya fiksi, tetapi isinya
merupakan gambaran sosial masyarakat pada saat karya tersebut diciptakan dan
tidak selayaknya dipinggirkan serta tidak pernah disinggung dalam pembelajaran
sastra di sekolah-sekolah.
Dengan membahasnya setidaknya
menunjukkan eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu Pasar
dan diterbitkan di luar Balai Pustaka. Dengan
demikian terdapat usaha meluruskan sejarah perkembangan sastra Indonesia yang
sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Setidaknya mengenalkan novel-novel
sebelum Balai Pustaka dalam pembelajaran sastra di sekolah merupakan salah satu
alternatif pembelajaran sastra yang mencerahkan.
Daftar Pustaka
Sumardjo, J. 1992. Lintasan Sastra Modern
Indonesia 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Tulisan ini dikutip dari artikel yang ditulis tahun 2007, tetapi tidak dicantumkan sumbernya ... sungguh disayangkan, apalagi dimunculkan dalam blog pribadi.
BalasHapus